Powered By Blogger
Selasa, 30 November 2010

SUATU EPISODE SEJARAH MAJAPAHIT-DEMAK


SUATU EPISODE SEJARAH MAJAPAHIT-DEMAK

Sumber : TBG, jilid 24, tahun 1877

F.S.A. de Clercq

Di wilayah luar Jawa jarang ditemukan keterangan yang bisa dinyatakan sebagai sumbangan bagi sejarah pulau itu, terutama dengan alasan banyak suku-suku yang tinggal di sana pada zaman dahulu tidak mengenal tulisan, dan kisah-kisah baru kemudian dicatat. Hal ini terjadi dengan naskah Melayu yang memuat sejarah raja-raja Banjarmasin dan Kotaringin, yang kisahnya merupakan gambaran tentang kondisi kerajaan Majapahit pada saat itu, sehingga di Banjar bantuan raja Jawa diminta. Sejauh ulasan ini memuat apa yang kita kenal dari sumber-sumber pribumi di Jawa, penerbitan ini menurut pendapat saya sangat berharga dan naskah Melayu selalu dilampiri dengan terjemahan yang beritanya dikutip oleh Lassen, Meinsma dan sebagainya. Apabila melalui berkas ini tidak bisa dijelaskan atau diungkapkan, namun perhatian perlu dicurahkan sebagai sesuatu yang khusus, apa yang dari tempat lain dikisahkan tentang salah satu kerajaan besar di Jawa sebagai kenangan rakyat.

KISAH PATIH MASIH KEPADA

PANGERAN SAMODERA TENTANG CARA

BAGAIMANA MAJAPAHIT, DAN SULTAN DEMAK

SEBAGAI RAJA PERTAMA DI JAWA

Menurut kisah masa lalu, di zaman dahulu raja Majapabit Tunggal Meteng (terutama dia adalah Angka Wijaya, meskipun nama patih juga menunjuk pada Brawijaya. Menurut Lassen, Marca Wijaya bisa menunjukkan apa yang tampaknya patut diragukan karena tentang kekuasaannya yang besar dengan jelas diungkapkan. Dia kemudian digantikan oleh cucunya, yang tidak terbukti; terutama karena AW dikenal sebagai sangat patuh, dan di bawah pemerintahannya kedudukannya ditempatkan di Ampel), dan patihnya adalah Gajah Mada. Semua bangsawan di Jawa tunduk kepadanya dan berbagai daerah seperti Banten, Jambi, Palembang, Bugis, Makasar, Johor, Patani, Pahang, Minangkabau, Aceh, Pasir mengakui kekuasaannya.

Setelah kematian patih itu, raja juga wafat dan digantikan oleh cucunya sebagai raja Majapahit. Patih Majapahit disebut Dipati Mahangurak dan patihnya adalah Mahurdara. Pada masa ini, Dipati Mahangurak memberikan perintah kepada warga Majapahit untuk melamar putri Pasir dengan tiga perahu dan seorang mantri yang kaya (dari kesepakatan dengan kerajaan Pasir di Borneo, penulis kronik ini berganti nama dengan Pasei yang diduga tidak dikenal olehnya di Pantai Utara Sumatra, daerah Melayu pertama yang menerima Islam. Kata melamar yang digunakan dalam naskah ini diambil alih dari bahasa Jawa).

Raja Pasir tidak menemukan jalan keluar karena sebagai seorang Islam dia tidak bisa memberikan putrinya dan toh tetap takut menolak lamaran itu, karena raja Majapahit sangat berkuasa dan banyak daerah yang tunduk kepadanya. Tetapi dia menyerahkan putrinya dengan alasan agar tidak membawa bencana bagi negara dan kawulanya. Tidak disebutkan berapa lama mereka mengarungi samodera, sampai mereka tiba di sana dan Gagak Batang menyerahkan putri Pasir kepada rajanya. Wanita ini menerima berbagai hadiah dan oleh raja Majapahit diangkat menjadi istrinya. Tetapi dia menerima sebuah rumah khusus, tidak berhubungan dengan para selir dan tidak makan makanan haram.

Setelah selama beberapa saat hidup bersama, putri Pasir itu hamil dan ketika waktunya tiba dia melahirkan seorang putra. Pada saat itu saudaranya Raja Bungsu tiba dan tinggal di Majapahit selama kira-kira setahun. Ketika kembali, dia dicegah oleh sang putri yang berkata:”Saudaraku, jangan pergi dahulu karena tidak ada dari kerabatku yang tinggal di sini”. tetapi Raja Bungsu mendesak untuk berangkat dan sampai dua atau tiga kali sang putri menahannya. Kini raja Majapahit berkata:”Tinggallah di sini selama beberapa tahun, karena saudarimu sangat merindukanmu, apabila dia sakit. Apabila engkau tinggal di sini, pilihlah tempat untuk membangun rumah dan aku akan memberikannya” (283)

Raja Bungsu tidak berangkat tetapi menyuruh para pengikutnya untuk kembali memberitahu ayahnya raja Pasir bahwa dia ditahan oleh putri dan raja Majapahit, dan dia serta putri akan mengirimkan berbagai hadiah. Mereka pergi yang menerima perintah itu dan tidak dilaporkan berapa lama perjalanan di laut. Beberapa orang tiba di Pasir, mengunjungi raja dan menyampaikan semuanya tentang Raja Bungsu, dan memberikan hadiah darinya serta dari putri. Raja terdiam dan tidak berkata apapun. Kini hanya disebutkan hubungan tentang raja Majapahit dan Raja Bungsu, yang diperkenankan untuk memilih di mana dia ingin tinggal. Raja Bungsu memilih sebuah tempat yang dahulu dihuni oleh manusia (sebuah pedusunan), yang disebut dukuh Ampil Kedang (tinggal di Ampil, menimbulkan dugaan bahwa dia adalah orang yang sama seperti ulama Arab Raden Rahmat, yang kemudian tinggal di Ampel di dekat Surabaya bersama 3 ribu keluarga) dan yang memerintahkan pembabatan hutan untuk mendirikan sebuah rumah.

Raja Majapahit memerintahkan kawulanya untuk membuka tanah di sana; dan ada pohon-pohon besar yang ditebang dan mereka menjadikannya sebagai tiang. Di tempat didirikannya sebuah rumah bagi Raja Bungsu dia tinggal bersama lima orang kawula dan abdinya. Sampai sekarang nama tempat itu adalah Ampil Kedang. Ketika Raja Bungsu tinggal di sana selama beberapa saat, desa-desa yang terletak di sekitarnya semuanya masuk Islam. Tetapi dia tidak berani dan merasa takut. Dia mengirimkan pengikutnya kepada sang putri dan berkata kepadanya:”(284) Kami dikirim oleh sesembahan kami Raja Bungsu, yang meminta Anda untuk berbicara dengan raja Majapahit tentang desa-desa sekitarnya, yang semuanya ingin memeluk Islam”. Di sini putri memberitahu suaminya apa yang dikatakan oleh saudaranya, raja menjawab:”Katakan kepada adikku bahwa siapapun yang akan memeluk agama Islam silahkan pergi. Aku tidak melarang – bukan hanya warga desa tetapi juga penduduk Majapahit bila mereka menghendakinya, jadilah umat Islam yang saleh”.

Setelah raja mengatakan demikian, utusan itu meminta ijin untuk kembali dan semua yang dibicarakan dilaporkan kepada Raja Bungsu, di mana setiap orang yang menghendaki bisa menjadi Islam dan berpegang teguh pada ajaran Nabi. Disampaikan kepada kawulanya bahwa Raja Bungsu tumbuh melebihi raja Majapahit. Kini ada seorang mantri yang bernama Si Api (mungkin pengacauan dari Siapik, seorang intelektual) yang bekerja sebagai petinggi dan berasal dari Jipang (menurut sumber Jawa, Jipang adalah tempat tinggal Sunan Kudus). Dia datang bersama empat atau lima orang warga untuk mempersembahkan kelapa, pisang, buah-buahan (ubi dan gembili), sirih, pinang, beras dan ayam kepada Raja Bungsu. Petinggi terkejut melihat Raja Bungsu, dia berlutut di depan kakinya dan memintanya agar mereka bisa masuk Islam. Raja Bungsu bersedia melakukannya dan mengajari mereka tentang kewajiban agamanya. Petingi setelah itu meminta ijin kepadanya untuk pulang dan setibanya di rumah, dia berkata kepada istri, anak-anak dan anggota keluarganya:”Hai kerabatku semua, jika engkau ingin sama seperti aku, jadilah Muslim, karena aku telah menerimanya”. Semuanya menganggap baik dan menghadap kepada Raja Bungsu dengan permohonannya (285), dan mereka juga menerima ajaran itu.

Kemudian petinggi Jipang mempersembahkan putrinya kepada Raja Bungsu dan berkata:”Saya memberikan putriku kepada Anda agar Anda perlakukan sesukanya; saya akan sangat berkenan karena saya bisa beruntung apabila Anda menunjukkan kehormatan ini kepadaku”. Raja Bungsu menjawab:”Kuterima persembahanmu”. Setelah itu, putri petinggi Jipang itu diambil istri oleh Raja Bungsu, dan bersama wanita tersebut dia hidup bersatu. Petinggi melaksanakan upacara itu dan diangkat menjadi penghulu. Dikisahkan bahwa ketika penghulu Jipang sudah dikenal, dia memisahkan diri dari Raja Bungsu dan pada hari Jumat bertempat di Ampel Kedang. Desa-desa yang terletak di dekatnya juga ikut masuk Islam.

Ketika raja Majapahit mendengar hal ini, dia tidak marah karena penyebabnya Raja Bungsu tidak menarik diri. Putra yang lahir dari perkawinan saudari Raja Bungsu dengan raja Majapahit, yang kemudian dinikahkan dengan seorang putri raja Bali, telah hamil tiga bulan. Putri penghulu Jipang yang menikah dengan raja Bungsu menerima dua anak: yang sulung adalah putra dan yang bungsu adalah putri, tetapi mereka masih kecil. Pertama-tama putri raja Bali mengandung dan ketika waktunya tiba dia melahirkan seorang putra. Setelah anak ini lahir, ibunya meninggal.

Anak itu juga membunuh orang yang menggendongnya. Karena alasan ini raja Bali berkata:”Apabila demikian, anak ini adalah mahluk gaib dan tidak perlu hidup karena akan membuat manusia menderita” (286) Raja menyuruh anak itu dilemparkan kelaut:”Jangan sampai ada di Bali karena bencana akan melanda negeri ini”. Setelah itu anak tersebut dilempar ke laut. Oleh pujangga dikisahkan bahwa seorang utusan Nyai Suta Pepatih di Gresik, yang bernama Juragan Balan yang segera ingin kembali ke laut selat Blambangan, melihat sesuatu yang bersinar (ini merupakan gambaran yang berubah tentang apa yang dicatat secara singkat oleh Lassen dan lebih panjang dimuat dalam TNI jilid 1 bagian II halaman 277. Pada bagian terakhir, putri yang menerima anak itu disebut Nyai Ageng Pinate, di mana dengan mudah bisa diduga Pepatih, terutama karena kata ini juga ditulis pengatih).

Ketika didekati dia melihat sebuah peti mati. Dia berusaha menariknya dengan sebuah galah, dan setelah tutup peti itu dibuka dia melihat seorang anak kecil. Juragan itu berkata:”Dia tampak menatap tajam, membuat kita takut dan bawalah serta anak ini, karena Nyai Tumenggung tidak memiliki anak, dan menurut pendapat saya jelas anak ini akan senang. Orangtuanya tidak diketahui. Saya menduga bahwa orangtuanya adalah keturunan bangsawan, karena penampilannya berbeda dengan anak-anak lain”. Warganya menjawab:”Kami takut kembali karena bisa membuat Nyai Tumenggung marah”.

Juragan itu meneruskan:”Apabila Nyai Tumenggung menunjukkan kemarahan, maka saya akan bertanggungjawab: apabila dia marah, dia bisa menjualku bersama istri dan anak-anakku. Aku berani membawa sebuah perahu pergi ke arah lain dan menghindari kemarahannya”. Awak kapal itu berkata:”Apabila memang demikian perkataanmu, maka kami mengikutimu tetapi bagaimana dengan angin karena kami tidak bisa kembali dengan angin barat?” (287). Angin barat kini berhenti dan angin timur berhembus, dan perahu itu berlayar kembali. Kemudian angin berhembus dari selatan, dan awak kapal merasa takut dan berkata:”Dalam hal ini anak itu membawa berkah bagi kita”. Ketika itu mereka tiba di Gresik. Juragan mengambil peti itu dan bersama anak tersebut membawanya ke darat, Nyai Suta berkata dan seperti yang disampaikan kepada para awak kapal, dia juga berbicara sekarang:”Saya hanya berani menanggung sendiri kemarahanmu, apabila engkau memerintahkan agar aku dihukum bersama istri dan anak-anak, maka aku tidak akan melawan karena aku berani mengambil anak ini, tetapi engkau lebih mencintai seorang anak; tentang orangtuanya tidak ada kepastian; saya tidak takut pada kemarahanmu”.

Nyai Suta Pepatih menjawab:”Bersyukurlah engkau telah mengambilnya, seolah-olah engkau membawa sepuluh potong kain. Jangan sampai rusak. Semua yang menjadi hartaku berada dalam perahu, bagikan kepada rakyat sebagai hadiah dariku, dan bawalah perahu itu”. Juragan dan awak kapal merasa sangat bangga. Anak itu kini dipelihara oleh Nyi Suta, dan dia juga menyusuinya. Tetapi anak ini tidak bersedia menyusu dan dimasukki makanan dalam mulutnya dan diberi minum dengan santan. Nyai Suta Pepatih memelihara anak ini dengan sangat hormat, dan sejak saat itu harta kekayaan mereka semakin bertambah ketika anak itu terawatt dengan baik.

Mahudara meninggal dan begitu juga raja Majapahit. Putri Pasir yang menjadi istri raja Majapahit tinggal pada suaminya. Ketika raja ini wafat, dia tinggal di Ampil Kedang, berubah agama dan memeluk Islam bersama saudaranya Raja Bungsu. (288) Di kerajaan Majapahit terjadi pemberontakan dan semua penduduk menyebar ke segala penjuru, beberapa ke Bali, yang lain ke Tuban, Madura dan Sedayu. Mereka tinggal di berbagai tempat masing-masing. Pertama-tama di Jawa sejumlah desa dekat Ampil Kedang masuk Islam, setelah itu penghulu Jipang, kemudian Demak, Gresik, Surabaya, Kudus dan akhirnya daerah lainnya di Jawa.

Setelah Majapahit, kerajaan terbesar adalah Demak di bawah seorang Sultan, yang bernama Sri Alam, raja yang mendirikan Kuta Ramaya. Penulis sejarah mengisahkan bahwa putra Raja Bungsu disebut Wali Allah, juga disebut Pangeran Bomang. Putri Raja Bungsu diambil sebagai istri Sunan Kudus, dan setelah itu menerima pelajaran dari Raja Bungsu, sehingga Sunan Kudus juga disebut Wali Allah atau Pangeran Mahadam. Anak yang ditemukan di laut dekat selat Blambangan juga menjadi Wali Allah dan disebut Pangeran Giri (hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan Lassen). Banyak yang tidak dicatat, tetapi dikisahkan oleh tukang cerita.

Agung 2015

Montage dibuat Bloggif

Buton 3

Buton 2

Molukken 2

Molukken

Wael Historian

Perjuangan terbesar bagi sejarahwan adalah membuktikan kebenaran sejarah secara ilmiah. hehe. ...Read More

Buton Island

Istriku



Daftar Blog Saya

Total Tayangan Halaman

Agung

Agung

Pengikut

About Me

Foto Saya
WAEL HISTORIAN
Seorang anak maritim yang dilahirkan di Dusun Terpencil di Pulau Seram Propinsi Maluku.
Lihat profil lengkapku

About


Tab 1.1 Tab 1.2 Tab 1.3
Tab 2.1 Tab 2.2 Tab 2.3
Tab 3.1 Tab 3.2 Tab 3.3

Iklan


Iklan

Iklan

Blogger templates

Diberdayakan oleh Blogger.

Postingan Populer

Entri Populer

Entri Populer