Powered By Blogger
Selasa, 29 Juni 2010

SANGADJI : Historisitas Sebagai Pemerintahan Adat Dibawah Pemerintahan Kesultanan Tidore Oleh : La Raman

Mareku: Kilas Balik Dalam Pemerintahan Sangaji Jiko Malofo.

Kelurahan Mareku yang kita kenal hari ini adalah berasal dari dua pemerintahan Sangaji, yakni Sangaji Laisa dan Sangaji Laho. Wilayah berbatuan yang dimilikinya menggambarkan sikap mental masyarakatnya yang tegar bagaikan dinding batu yang tahan getaran dan deburan ombak. Secara geografis memiliki kurang lebih 75% wilayah Tidore Utara Barat, yaakni sebagian Desa Bobo sampai wilayah Rum dan Telaga. Kedua Sangaji sebagaimana di ungkapkan lebih dikenal dengan sebutan Sangaji Jiko Malofo.

Penggunaan nama tersebut cukup beralasan, justru berada dalam dua Jiko ( teluk ) yakni Jiko Itolamo Sema Gurua Tagalaya dan Jiko Akebai Sema Sum Tobaru. Di satu sisi pengertian Sangaji Jiko Malofo juga memiliki nilai falsafah marimoi, yakni nilai falsafah yang mengarah pada upaya pengembangan dan penyatuan dua pemerintahan Sangaji dalam berbagai aspek kehidupan, terutama dalam pertahanan dan keamanan wilayah. Itulah konsep wawasan nusantara yang pernah tumbuh dan berkembang pada masa pemerintahan Sangaji Jiko Malofo.

Pendelegasian wewenang dari Sultan Tidore kepada Sangaji Jiko Malofo di Mareku selain mambantu Sultan dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pelayanan kemasyarakatan, juga memiliki nilai yang sangat strategis sebagai langkah antisipasi terhadap penyerangan hongi-hongi Ternate dan Kompeni melalui kawasan Barat pulau Tidore.

Pada era pemerintahan Sangaji Jiko Malofo telah memberikan nuansa di berbagai aspek, salah satu di antaranya telah mampu menata pemerintahan yang dalam mekanisme dan operasionalisasinya di kenal dengan Bobato Akhirat dan Bobato Dunia.

Bentuk pemerintahan Sangaji baik di pulau Tidore, Halmahera, maupun Papua adalah suatu bentuk otonomi luas yang di berikan oleh Sultan Tidore tanpa adanya intervensi pihak Kesultanan. Itulah sebabnya selama Papua bernaung di bawah kesultanan Tidore tidak pernah menunjukkan sikap yang mengarah pada disintegrasi bangsa.

Tertangkapnya Sultan Jamaludin Syah pada tahun 1779 oleh Thomaszen dan pergantian Sultan-Sultan sesudahnya memberikan pengaruh yang besar terhadap perkembangan dan perjalanan sejarah Sangaji Jiko Malofo di Mareku, justru memiliki sikap politik yang berbeda. Namun demikian Nuku tatkala meninggalkan bumi kelahirannya pada tanggal 14 juli 1780 mengembara di Halmahera Seram dan Papua, sempat menitipkan pesan kepada Sangaji Jiko Malofo di Mareku, yang di kenal dengan BORERO JOU, Yakni IFA NO ELI LADA BALA MA JOU LADA UA yang artinya “jangan bertuan pada Belanda karena Belanda bukan pimpinan rakyat”. Pesan ( Borero) yang di sampaikan adalah sikap politik Nuku yang non koperation. Sekaligus adalah isyarat kepada Sangaji Jiko Malofo agar tetap mempertahankan eksistensinya untuk tidak bekerja sama dengan Kompeni Belanda.

Kesultanan Tidore bahkan Kie Raha yang menyadarkan adat pada KITABULLAH dan SUNATURRASUL telah mengilhami pelaksanaan pemerintahan Sagaji Jiko Malofo. Olek karena adat dan budaya yang muncul di kesultanan Tidore maupun Sangaji Jiko Malofo memiliki nilai ritual yang sangat Islami. Hal itu terlihat jelas pada setiap panji Kie Raha yang terpampang secara eksplisit KALIMATULLAH dan KALIMATURRASUL yang adalah substansi adat negeri ini.

Pada pemerintahan Sangaji Jiko Malofo di Mareku terdapat hal yang sama, bahkan pada panji ke dua Sangaji di Mareku terhadap kalimat : LAI SA KAMISLA SAI UN dan kalimat LA HAO LA WALA KUWATA ILLA BILLAH Yang terdapat dalam substansi nama Sangaji Laisa dan Sangaji Laho.

Dari uraian di atas memberikan pengertian bahwa leluhur negeri ini pernah meletakkan Islam dalam porsi yang tertinggi dalam penyelenggaraan Negara.

Adanya falsafah SANGAJI I KADATO SIGI SE I NGAM ALIF SE BAITULLAH telah mengisyaratkan kepada kita bahwa Sangaji bukan sekedar memegang kekuasaan birokrasi tetapi sesungguhnya adalah ULIL AMRI yang bertanggung jawab dalam hal keagamaan dan peribadatan.

Perkembangan Sagaji Jiko Malofo selanjutnya telah tercatat berbagai rentetan pertstiwa yang masih segar di ingat oleh tua-tua di Mareku, di antaranya adalah :

Peristiwa perlawanan Sangaji Jiko Malofo terhadap Belanda pada tahun 1907. Sehubungan dengan penagihan pajak atau blasting oleh pemerintan kolonial Belanda. Peristiwa yang di awali dengan pertemuan sekutu, di bawah pimpinan Sangaji Kader, Sangaji Saleh dan Kalem Abdullah, bersemboyang TO HOLU TO COU LADA KANGELA NYINGA. Semboyan sebagaimana dimaksud adalah pernyataan politik Sangaji Jiko Malofo, yang berarti :

KAMI TIDAK RELA MENGABDI PADA BELANDA, KARENA BERTENTANGAN DENGAN HATI NURANI

Adalah sangat identik dengan pembukaan UUD 1945, khususnya alinea pertama yakni Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus di hapuskan Karena tidak sesuai dengan pri kemanusiaan dan pri keadilan. Peristiwa yang berakibat tertangkapnya TRIO PEMIMPIN SANGAJI tersebut dan di asingkan ke Digul Papua itu memberikan suatu pukulan berat bagi masyarakat Sangaji. Namun pemimpin yang bijaksana tidak menginginkan jatuh korban di pihak rakyat yang lebih besar tetap meyakini rakyatnya untuk tidak mengadakan perlawanan, walaupun mereka sadar bahwa rakyatnya tidak menginginkan pimpinannya di tangkap.

Hari ini Sangaji Jiko Malofo serta Sultan Tidore telah di eksiskan kembali, meskipun kami sadar bahwa Sangaji tidak lagi memegang kekuasaan birokrasi, tetapi paling tidak adalah tokoh dan pemimpin kemasyarakatan yang dapat di teladani.

Eksistensi Sangaji dan Sultan Tidore hari ini juga adalah membingkai kembali semangat kekeluargaan dan kebersamaan dengan bingkai adat, budaya dan sejarah.

Asal-Usul Dan Fungsi Pemerintahan Sangaji.

1. Asal Usul Sangaji Sebagai Pemerintahan Adat

Kata sangaji berasal dari kata : SE INGO NGAJI Yang artinya dia memiliki hak sebagai pemimpin. Sangaji selaku pemerintahan adat yang berkedudukan di Mareku dibentuk oleh Sultan Tidore dengan tugas utama untuk melindungi vasal kesultanan Tidore yang ada di wilayah Utara pulau Tidore. Sangaji selaku jabatan adat dibawah sultan dalam pembentukannya ditentukan berdasarkan kriteria-kriteria khusus dan kriteria-kriteria tersebut selalu berhubungan erat dengan falsafah kesultanan Tidore.

Berdasarkan catatan perjalanan sejarah kesultanan Tidore, penentuan jabatan sangaji selaku jabatan adat dibawah Sultan ditentukan jabatannya dengan kriteria yang meliputi :

a. Sangaji Cocatu yaitu sangaji yang di angkat karena kesatriaannya ( kepahlawanan ).

b. Sangaji Adat yaitu sangaji yang di angkat berdasarkan garis keturunan, dan tata cara penentuan dan pelaksanaan jabatan sangatlah sakral.

Sebagai gambaran atas penentuan jabatan sangaji selaku pemerintahan adat berdasarkan kriteria diatas, di pusat pemerintahannya Mareku Sangaji dibagi menjadi dua bagian, masing-masing adalah:

1. Sangaji Laisa yang berstatus sebagai sangaji adat.

2. Sangaji Laho yang berkedudukan sebagai sangaji Cocatu.

Pemberian nama Sangaji Laisa dan Sangaji Laho memiliki nilai ritual yang sangat Islami yaitu : terdapat kalimat LAISA KAMISLI SAI UN ( Laisa ) dan LA HAO LA WALA KUATA ILLA BILLAH ( Laho ).

Kehadiran Sangaji selaku pemerintahan adat memberikan nuansa sebagai berikut :

1.Masyarakat taat terhadap hukum adat (aturan-aturan yang berlaku).

2.Masyarakat hidup dalam bingkai persatuan.

Mareku pada awalnya hanya ada 1 sangaji yaitu Sangaji Mareku dan ini berlangsung pada masa Kesultanan Jou Seli. Akan tetapi dalam taraf perkembangan lebih lanjut hadir sangi Laho.

Sangaji Laho pada awalnya merupakan perpindahan dari Sangaji Tuguiha. Hal ini terjadi karena pada saat perebutan wilayah Weda, Sangaji Tuguiha gagal dalam pelaksanaan tugasnya. Karena hal tersebut Sultan meminta bantuan pada Sangaji Mareku.

Intersep sejarah yang dilakukan terhadap kedua Sangaji membuktikan bahwa pada awal mula Sangaji Laisa di sebut dengan Sangaji Banga dan Sangaji Laho di sebut dengan Sangaji Buku. Jabatan Sangaji Laho diberikan karena di lihat dari perjuangannya sedangkan Sangaji Laisa merupakan Sangaji adat.

Batas wilayah Sangaji Mareku meliputi 75% Bagian Barat dari Bobo sampai Rum ( Buku Matiti ). Vasal adat dari kedua Sangaji tersebut masing-masing meliputi;

a. Wilayah kekuasaan Sangaji Laisa terdiri dari Afa-Afa, Sirongo, Bua-Bua, Tomaonge, Tudurabo, Tomarange, Tomarora.

b. Wilayah kekuasaan Sangaji Laho : Ake Ragi, Hale Joko (diserahkan kesultanan pada saat kerajaan Tidore berpusat di Toloa).

Yang menjadi Sangaji Laisa pertama adalah Sangaji Kiyal pada masa pemerintahan Jou Seli sedangkan Yang menjadi Sangaji Laho pertama adalah Sangaji Kecuba juga pada masa pemerintahan Jou Seli.

2. Fungsi danTujuan Sangaji

Intensitas sejarah menunjukkan bahwa pemerintahan adat Sangaji Jiko Malofo dibentuk oleh Sultan Tidore dengan fungsi dan tujuan yang meliputi;

a. ULIL AMRI Yang bertanggung jawab pada rakyat.

b. Melaksanakan perintah agama Islam ini berkaitan dengan

semboyan Sangaji IKADATON SIGI SE INGAM ALIF SE BAITULLAH.

Dalam melaksanakan tugas-tugasnya, kedua Sangaji harus berembuk dalam memecahkan persoalan-persoalan pemerintahan dan adat yang ada diwilayah masing-masing dengan bobato-bobatonya ( Lembaga-Lembaga adat ). Bobato-bobato yang ada dikedua Sangaji masing-masing adalah :

a. Bobato Sangaji Laho meliputi;

- Bobato Dunia yang terdiri dari;

1. Gimalaha Bobo, pertahanan keamanan, Umar Ismail.

2. Gimalaha Gamgulu, Samsudin Gamgulu, Tukang di bagi yaitu

- Fola Imam

- Fola Tukang

3. Gimalaha Tomanyira Husen Tumanyira, Tuan-tuan yang ada di kampung

- Bobato Akhirat = hal-hal yang menyangkut dengan keagamaan dan seluruh ada dibawah tanggung Jawab Imam Mesjid dan pembantu-pembantunya (Badan Sarah).

b. Bobato Sangaji Laisa

- Bobato dunia yang terdiri dari;

1. Gimalaha Togam, pertahanan dan keamanan.

2. Ngato Mareku Bulo, urusan dalam negeri.

3. Ngato Mareku Kotu, urusan rumah tangga Sangaji.

- Bobato Akhirat = Tugas dan urusan keagamaan tetap dibawah tanggung jawab bobato akhirat.

3. Fungsi Lembaga-Lembaga Adat Pada Pemerintahan Sangaji.

a. Fungsi Bobato Dunia

Bobato Dunia diberi Tugas dan tanggung Jawab untuk mengurusi masalah yang menyangkut dengan tatanan suatu pemerintahan adat yang meliputi, masalah ekonomi, sosial, politik, pertahanan keamanan untuk mecapai tujuan dari Bobato Dunia itu sendiri yakni masyarakat adat yang aman dan sejahtera.

b. Fungsi Bobato Akhirat

Bobato akhirat diberi tugas dan tanggung jawab untuk mengurusi masalah-masalah keagamaan yang meliputi perkawinan, pewarisan, dan syariat Islam yang berlaku.

0 komentar:

Agung 2015

Montage dibuat Bloggif

Buton 3

Buton 2

Molukken 2

Molukken

Wael Historian

Perjuangan terbesar bagi sejarahwan adalah membuktikan kebenaran sejarah secara ilmiah. hehe. ...Read More

Buton Island

Istriku



Daftar Blog Saya

Total Tayangan Halaman

Agung

Agung

Pengikut

About Me

Foto Saya
WAEL HISTORIAN
Seorang anak maritim yang dilahirkan di Dusun Terpencil di Pulau Seram Propinsi Maluku.
Lihat profil lengkapku

About


Tab 1.1 Tab 1.2 Tab 1.3
Tab 2.1 Tab 2.2 Tab 2.3
Tab 3.1 Tab 3.2 Tab 3.3

Iklan


Iklan

Iklan

Blogger templates

Diberdayakan oleh Blogger.

Postingan Populer

Entri Populer

Entri Populer