Powered By Blogger
Minggu, 27 Juni 2010

PETANI DAN KAUM URBAN “Transmormasi Petani dan Masyarakat Perkotaan” Oleh : La Raman

Banyak pemukim perkotaan tetap berakar pada masyarakat pedesaan tempat mereka dibesarkan dulunya. Hal ini merupakan pola yang umum di Sub-Sahara Afrika, dan sebagian besar Asia-Pasifik. Bagi kaum migran yang datang belakangan, mendapatkan diri mereka terisolasi di ling­kungan perkotaan merupakan hal yang tidak umum. Bila ini memang terjadi, migran tersebut mungkin akan kesepian, tapi dia merasa aman karena tahu dia masih tetap menjadi anggota masyarakat tempat ia berasal. Isteri dan anak-anak harus tinggal di kampung, anggota keluarga besar atau sanak saudara mereka terus memberikan pengertian bahwa desa tetap menjadi kampung halaman mereka.

Pola-pola migrasi jelas terkait dengan kekuatan ikatan yang dipertahankan kaum migran dengan komunitas asal mereka. Banyak kaum migran berharap pulang ke sana. Mereka tetap melihat diri mereka sebagai anggota masyarakat pedesaan, baik yang ingin kembali di saat panen maupun yang merencanakan pension di desa setelah habis masa kerja di kota. Pola seperti ini berlaku di Nigeria Timur pada tahun 1960-an. Di sana pemukim urban selalu menekankan hahwa mereka adalah orang asing di kota. Tanpa memandang tempat kelahirannya, setiap orang Nigeria Timur dapat menunjukkan masya­rakat tempat orang tuanya dulu tinggal dan menganggap tempat tersebut sebagai 'tempat tinggal'nya pula. Mereka tetap akan menjadi komunitas pedesaan kecuali beberapa orang saja yang berasal dari keluarga yang sudah mapan pada masa prakolonial di kota. Komunitas kampung halaman sebaliknya mengacu pada mereka yang dianggap sebagai 'anak kita yang berada di negeri seberang. Mereka diharapkan mampu meles­tarikan hubungan dan akhirnya kembali ke desa (Gugler, 1971).

Ikatan penting dengan wilayah desa asal ini umum bahkan di kalangan kaum migran yang sudah permanen sekalipun. Komitmen terhadap kelu­arga besar dan desa seperti itu dilaporkan dari Meerut, sebuah kota di India Utara, dimana Vatuk (1972) mempelajari migran generasi pertama dan kedua yang bekerja sebagai pekerja kerah putih. Sebagian besar generasi migran ini menganggap tempat tinggal mereka sebenarnya adalah desa. Hubungan akrab dengan desa dan rasa memiliki terhadap desa berlangsung selama beberapa generasi. Suami istri berkunjung ke rumah asal orang tua mereka pada hari libur, kaum wanita dan anak-anak juga mcngunjungi desa kelahirannya. Pertukaran uang, barang-barang dan jasa antara lapisan keluarga besar di desa dengan keluarga di kota hukan hanya bersifat pernyataan yang normatif, tetapi juga pada umum­nva terjadi dalam praktek, khususnya jika yang bermukim di desa tersebut orang tua dari kepala rumah tangga yang ada di kota tadi. Meskipun demikian dengan beberapa pengecualian, kaum urban ini tidak mem­punyai niat untuk kembali bermukim di pedesaan, dan tidak pula anak-­anak mereka. Memang benar, banyak yang memiliki tanah dan rumah di desa, tetapi kekayaan semacam itu jelas memiliki nilai yang kecil bagi kaum urban yang telah memiliki status sebagai pekerja kerah putih; kekayaan semacam itu, pada saat ini, bukanlah sumber pendapatan pokok bagi mereka. Sebenarnya, para pemukim urban yang memiliki tuntutan terhadap kekayaan keluarga enggan untuk melihat kekayaan itu terpisah, sehingga mereka ingin terus memberi nilai tinggi terhadap idealitas keutuhan keluarga.

Bruner (1972) melaporkan pola serupa di kalangan orang Batak Toba, kelompok minoritas Kristen di Indonesia. Orang Batak yang ada di Jakarta mengirimkan uang ke rumah mereka, mem­hantu anak-anak desa yang masih ada hubungan famili untuk mengikuti pendidikan di kota, dan menjaga kepentingan-kepentingan mereka di kampung secara aktif. Orang Batak yang ada di kota tidak akan me­ninggalkan atau memutuskan hubungannya dengan mereka yang ada di desa. Sesungguhnya banyak orang yang memiliki rumah dan sawah di desa mereka, bahkan setelah dua atau tiga generasi di kota. Tetapi pemilikan kekayaan di desa lebih merupakan simbol daripada nilai eko­nomi.

Komitmen yang dimiliki kebanyakan kaum migran terhadap komu­nitas asal mereka dapat dijadikan dasar untuk mengatakan bahwa sebe­narnva, di dalam hati mereka tetap petani, tidak menjadi urban sepe­nuhnya. Migrasi berjangka pendek mendukung penafsiran semacam ini. Tetapi, bahkan para migran yang datang dalam jangka pendek pun tidak lagi sepenuhnya bersikap sebagai orang desa. Meskipun mereka dulunya berperilaku seperti orang-orang desa dan mampu memegang nilai-nilai desanya, tetapi biasanya mereka menyadari perlunya menggunakan tata cara kota. Mereka sudah belajar tentang kondisi perkotaan di sekolah­sekolah dan dalam kunjungan-kunjungan singkat ke kota.

Tentunya, begitu seorang migran tiba di kota ia harus mengadopsi perilaku yang memungkinkan ia mencapai keberhasilan ekonomi secara efektif. Keterangan semacam ini diperjelas oleh Gluckman (1960) ketika dia menghilangkan perspektif lama yang memandang bahwa pe­kerja Afrika itu sebagai manusia suku dalam pernyataan klasik, seorang Afrika kota tetap sebagai seorang kota, sedangkan seorang buruh tambang tetap seorang buruh tambang. Namun, sebuah model perubahan situasional semacam ini hanya menangkap satu aspek dari adaptasi mi­gran tersebut. Padahal, disamping itu masih ada beberapa proses yang lebih menarik: yakni, seorang migran akan terus memodifikasi perilakunya ketika dia sudah memiliki pengalaman di kota.

Penggunaan bahasa merupakan wilayah adaptasi yang menyolok dan penting. Sebagian migran hanya membutuhkan beberapa tambahan per­bendaharaan kata atau memodifikasi logatnya, tetapi migran lainnya tidak menguasai atau hanya memahami sedikit saja bahasa kola. Banyak kaum migran di kota-kota Asia dan Afrika harus beralih ke bahasa nasional atau regional yang umum digunakan. Transformasi ini secara khusus sangat menyolok di Amerika Latin. Para migran Indian dapat dikatakan sebagai mestizos ketika mereka belajar bahasa Spanyol, me­nanggalkan pakaian desa dan gaya rambut serta mengubah kebiasaan makan mereka. Berubahnya penggunaan bahasa menggambarkan propo­sisi-proposisi baik model perubahan situasional maupun geografis: sege­ra setclah seorang migran tiba di kota dia akan menggunakan bahasa resmi walaupun hanya tahu sedikit bahasa itu; setelah lama bermukim kemampuan bahasanya akan semakin membaik.

Meniru pola-pola perilaku kota tidak harus melupakan semua yang pernah dilakukan di kampung. Kehidupan kaum migran akan torus berjalan dengan cara-cara kota ataupun desa sesuai dengan tuntutan situasinya. Sesungguhnya, mereka harus menjadi petani sekaligus orang kola agar mampu berinteraksi secara pas dalam dualisme sistem yang sudah mapan itu (Gugler, 1971). Dengan mempelajari norma-norma perilaku Baru lewat sosialisasi di perkotaan, maka beberapa individu mulai melepaskan norma-norma desa mereka, tetapi sebagian besar kaum migran tidak menanggalkan keinginannya atau kehilangan kemampuannya untuk memasuki hubungan-hubungan sosial yang diatur oleh norma-norma desa, baik ketika di kota maupun di desa. Dengan kata lain, menjadi orang kota melibatkan perluasan perangkat budaya, tetapi hal ini tidak harus mengakibatkan penolakan atau penghapusan.

0 komentar:

Agung 2015

Montage dibuat Bloggif

Buton 3

Buton 2

Molukken 2

Molukken

Wael Historian

Perjuangan terbesar bagi sejarahwan adalah membuktikan kebenaran sejarah secara ilmiah. hehe. ...Read More

Buton Island

Istriku



Daftar Blog Saya

Total Tayangan Halaman

Agung

Agung

Pengikut

About Me

Foto Saya
WAEL HISTORIAN
Seorang anak maritim yang dilahirkan di Dusun Terpencil di Pulau Seram Propinsi Maluku.
Lihat profil lengkapku

About


Tab 1.1 Tab 1.2 Tab 1.3
Tab 2.1 Tab 2.2 Tab 2.3
Tab 3.1 Tab 3.2 Tab 3.3

Iklan


Iklan

Iklan

Blogger templates

Diberdayakan oleh Blogger.

Postingan Populer

Entri Populer

Entri Populer