Powered By Blogger
Selasa, 29 Juni 2010

KESADARAN DEKONSTRUKTIF DAN HISTORIOGRAFI INDONESIASENTRIS Oleh La Raman

Ketika perbincangan tentang sastra dan sejarah memasuki dunia wacana dekonstruktif di samping konstruktif dan rekonstruktif. Sebagai sebuah realitas yang dibayangkan, sejarah dan sastra sering dianggap berada dalam tataran yang sama. Pada tataran praktis antara fakta dan fiksi tidak ada perbedaan yang berarti secara tekstual, sehingga sastra dan sejarah dapat diasosiasikan bergulat di dalam satu bidang yang sama, yaitu bahasa.

Berdasarkan cara berpikir di atas, sejarah sebagai kenyataan hanya merupakan sesuatu yang terjadi satu kali di masa lalu dan tidak berulang, sedangkan sejarah sebagai sebuah rekonstruksi tertulis dan lisan yang kita kenal saat ini adalah produk dari bahasa, wacana, dan pengalaman sesuai dengan konteksnya. Pada tingkat teoretik dalam pengertian teori sejarah kon­septual, adanya perbedaan itu sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru dalam ilmu sejarah. Para pendukung positivisme atau empirisisme dan idealisme atau relativistisme telah ber­silang pendapat sejak lama baik tentang arti, pemahaman, eksplanasi, objektivitas-subjektivitas maupun faktor-faktor determinan dalam sejarah, dan hal serupa terjadi ketika tradisi hermeneutika, historisisme baru, post-modernisme, dan post­kolonial menolak kepastian masa lalu yang ditawarkan oleh para pendukung modernisme.

Dalam perkembangan ilmu sejarah, pembahasan tentang persoalan fakta dan fiksi ini sebenarnya bukan sesuatu yang sederhana. Eric Hobsbawm yang sering dianggap berseberangan dengan para pendukung post-modernisme berpendapat, idiologisasi dan mitologisasi sejarah yang menjadi dasar dari subjektivitas sejarah dibangun tidak didasarkan pada kebohongan atau fiksi melainkan karena anakronisme, walaupun sebagian besar sejarawan masih tetap berpendapat bahwa hal itu lebih banyak disebabkan oleh kekeliruan atau kesengajaan. Hal itu terjadi karena intetpretasi terhadap fakta sejarah dalam proses rekonstruksi dilakukan tidak sesuai dengan kenyataan struktural dan kultural yang melingkupinya pada waktu sebuah peristiwa terjadi.

Cara berpikir yang hampir serupa nampaknya yang mendorong Georg G. Iggers akhirnya berpendapat bahwa pendekatan linguistik dari post-struktural atau pendekatan sosial-kultural dari historisisme baru lebih cocok bagi kritik sastra daripada penulisan sejarah.

Alun Munslow beranggapan bahwa sejarah tidak akan ada bagi para pembaca sampai sejarawan menulisnya sebagai sebuah naratif. Realitas masa lalu dalam pengertian ini adalah sesuatu yang ditulis tentang masa lalu itu, bukan hanya sekedar masa lalu sebagaimana yang terjadi. Oleh sebab itu bagi Munslow, sejarah tidak hanya sekedar pengkajian tentang perubahan dalam konteks waktu melainkan sejarah merupakan pengkajian tentang informasi atau pengetahuan yang dihasilkan oleh sejarawan.

Terlepas dari perbedaan di atas yang menyangka tuntutan terhadap kebenaran empirik dan komitmen terhadap intersubjektivitas pada rekonstruksi masa lalu, pada tingkat metodologis, historisisme baru telah mendorong munculnya kesadaran dekonstruktif bahwa kehidupan sehari-hari juga merupakan bagian yang integral dari proses sejarah. Pengkajian sejarah mulai bergerak dari sejarah makro yang didasarkan pada tradisi pendekatan ilmu-ilmu sosial menjadi sejarah mikro yang didasarkan pada pengalaman kehidupan sehari-hari orang kebanyakan.

Akan tetapi bagi Georg G. Iggers dan beberapa penulis lain yang bersikap kritis terhadap tradisi sejarah mikro ini, walaupun tetap mendukung ide-ide dasarnya, para pendukung teori sejarah post-modemisme dianggap tetap saja menggunakan prinsip-prinsip ilmu-ilmu sosial ketika mencoba memulihkan subjektivitas dan individualitas dari persoalan yang dihadapi.

Pada tataran seperti yang telah disebutkan di atas, pernyataan Eric Hobsbawm tentang "perlu dilakukannya pembedaan antara apa yang ada dengan apa yang tidak ada untuk menentukan ada tidaknya sejarah nampaknya akan menjembatani persoalan fakta dan fiksi dalam rekonstruksi masa lalu.

Tahun 1957 merupakan tonggak penting dalam perkembangan historiografi Indonesia, ketika disusun sebuah rumusan baru tentang landasan filosofis penulisan sejarah Indonesia. Penyusunan konsep dasar yang dikenal sebagai Indonesiasentris itu merupakan reaksi terhadap tradisi historiografi kolonial, Belanda atau Eropa yang mengecilkan arti masyarakat Indonesia dalam proses sejarahnya sendiri.

Sejak awal perkembangannya, historiografi Indonesiasentris ternyata cenderung menjauh dari sejarah objektif karena berkembangnya prinsip dekolonisasi historiografis yang bersifat ultra nasionalis dan lebih mementingkan retorika. Hal itu terutama tercermin di dalam karya generasi-generasi awal sejarawan Indonesia pascakolonial, seperti Sanusi Pane, M. Yamin, dan Soekanto. Namun satu hal yang perlu dicatat bahwa dekolonisasi historiografi itu dalam kenyata­annya lebih mementingkan ideologisasi terhadap masa lalu daripada merekonstruksi kebenaran sejarah.

Sartono Kartodirdjo, bapak sejarah kritis UGM dan salah satu sejarawan Indonesia terkemuka di abad ke-20, sebenarnya mulai mengalihkan sejarah Indonesia dari kajian yang hanya membahas tentang penguasa kolonial atau kerajaan menjadi pembahasan tentang masyarakat keba­nyakan, melalui studinya tentang pemberontakan petani Banten. Menurut sejarawan UGM yang lain, Kuntowijoyo, historiografi dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial itu hanya hidup di menara gading, sehingga kebenaran ilmiah dari rekonstruksi sejarah hanya ada di kalangan kelompok ter­tentu, yaitu para sejarawan di perguruan-perguruan tinggi. Masih adanya dominasi kolonial dalam historiografi In­donesia pascakolonial bahkan dapat dilihat lebih jauh dalam kajian-kajian Sartono Kartodirdjo. Pendekatan yang sama nampaknya terus digunakan Sartono ketika ia membahas berbagai pergerakan sosial lain di pedesaan Jawa, yang mengesampingkan dinamika inter­nal di dalam masyarakat itu sendiri. Keterjebakan historiografi Indonesiasentris dalam determinisme kolonial ini juga terlihat dalam pemahaman tentang perlawanan para Paderi di Sumatera Barat pada paruh pertama abad XIX,

Cara berpikir yang serupa dapat juga digunakan untuk menjelaskan sejarah Aceh. Penelitian yang dilakukan oleh M. Gade Ismail di Aceh Timur menunjukkan dengan jelas adanya persaingan terus menerus antara ulama dan ulebalang dalam produksi dan perdagangan lada, jauh diluar persoalan intervensi kekuasaan kolonial. Oleh sebab itu, persitiwa perang Aceh tidak dapat dipisahkan begitu saja dari kelan­jutan proses dinamika internal masyarakat Aceh sendiri, biar­pun penjelasan historis selama ini menempatkan secara dikoto­mis antara ulebalang yang memihak Belanda. Namun menurut Kuntowijoyo, prinsip autonomous history yang diungkapkan oleh John Ismail, yang menjadi dasar untuk menjelaskan dua kasus di atas, tidak dapat digunakan untuk semua persitiwa yang terjadi pada masa kolonial, karena hal itu akan mereduksi realitas sejarah.

Persoalan lain yang juga perlu diperhatikan, ketika sebu­ah reinterpretasi yang berbeda terhadap realitas masa lalu dilakukan, historiografi Indonesia pascakolonial ternyata tidak semakin mendekat dengan kenyataan sejarah objektif sebagai peristiwa, malah sebaliknya semakin terjebak dalam kerangka berpikir yang ultra nasionalistik. Historiografi Indonesia pascakolonial juga terlalu meni­tikberatkan pada penjelasan politik dan peran penting yang selalu dimainkan oleh orang besar dalam kejadian sejarah. Sebagian besar sejarawan Indonesia beralasan bahwa kelangkaan data adalah masalah utama dari tidak adanya rekonstruksi sejarah tentang masyarakat kebanyakan pada masa kolonial. Akan tetapi penelitian akhir-akhir ini menunjukkan bahwa pendapat itu tidak benar.

Perempuan baik sebagai objek maupun wacana sejarah merupakan salah satu unsur yang juga hilang dalam historiografi Indonesia pascakolonial. Berkembangnya pengaruh Hindu-Budha, meluasnya pengaruh Islam, perubahan ekonomi yang terjadi sejak paruh pertama abad XIX, atau pengadopsian nilai-nilai Barat ke dalam masyarakat seharusnya tidak hanya berpengaruh terhadap laki-laki melainkan juga kepada perempuan. Hilangnya wacana perempuan dalam sejarah Indonesia pascakolonial terlihat dengan jelas pada struktur dan pemaparan isi, baik pada tujuh jilid buku Sejarah Nasional Indone­sia yang diterbitkan pemerintah maupun dua jilid buku Pengantar Sejarah Indonesia Baru yang ditulis oleh Sartono Kartodirdjo. Tidak adanya perempuan dalam sejarah Indonesia dapat dilihat lebih jauh dalam kajian perkembangan sosial Kota Yogyakarta yang dilakukan oleh Abdurrachman Surjomihardjo. Hampir seluruh isi buku itu memaparkan aktivitas para laki-laki dan melihat kota sebagai dunia laki-laki, padahal Kota Yogyakarta merupakan tempat berlangsungnya Kongres Perempuan Pertama.

Di samping hilangnya perempuan, historiografi Indone­sia adalah rekonstruksi dunia orang dewasa yang melupakan keberadaan anak-anak dan remaja dalam sejarah. Keberadaan anak-anak dalam sejarah tidak pernah dianggap sebagai bagian dari proses sejarah. Peniadaan anak-anak dan remaja dalam proses sejarah ini dapat dilihat lebih jauh dalam pembahasan tentang Pendidikan, karena hampir seluruh kajian tentang sejarah pendidikan di Indonesia menyajikan pendidikan seolah-olah hanya bagi orang dewasa. Selain itu, identifikasi sosial-kultural dan historiografi Indonesia secara umum kadang-kadang juga terlalu dipusat­kan pada Islam dan cenderung melupakan unsur lainnya.

Cara berpikir di atas juga menimbulkan marginalisasi terhadap unsur Cina dalam proses sejarah Indonesia, karena Islam dan Cina diibaratkan seperti air dan minyak yang tidak mungkin bercampur.

Berdasarkan paparan di atas, ditemukan beberapa para­dok ketika mencoba mencari akar kesadaran dekonstruktif dalam historiografi Indonesia pascakolonial. Berbeda dengan pemahaman teoretik, historiografi Indonesia pascakolonial dalam banyak hal ternyata tidak mampu memunculkan sikap kritis terhadap pola berpikir historiografi yang lama.

0 komentar:

Agung 2015

Montage dibuat Bloggif

Buton 3

Buton 2

Molukken 2

Molukken

Wael Historian

Perjuangan terbesar bagi sejarahwan adalah membuktikan kebenaran sejarah secara ilmiah. hehe. ...Read More

Buton Island

Istriku



Daftar Blog Saya

Total Tayangan Halaman

Agung

Agung

Pengikut

About Me

Foto Saya
WAEL HISTORIAN
Seorang anak maritim yang dilahirkan di Dusun Terpencil di Pulau Seram Propinsi Maluku.
Lihat profil lengkapku

About


Tab 1.1 Tab 1.2 Tab 1.3
Tab 2.1 Tab 2.2 Tab 2.3
Tab 3.1 Tab 3.2 Tab 3.3

Iklan


Iklan

Iklan

Blogger templates

Diberdayakan oleh Blogger.

Postingan Populer

Entri Populer

Entri Populer