Powered By Blogger
Selasa, 29 Juni 2010

HISTORISITAS KEDATON KIYE PADA KESULTANAN TIDORE Oleh : La Raman

Sejarah Pembentukan Kedaton Kie

Sejarah pendirian kedaton Kie di Soasio tidak dapat di lepas pisahkan daripada pusat aktifitas Kesultanan Tidore lama di Rum. Hal ini di katakana demikian karena, Sultan yang pertama sampai Sultan yang ke 14 berkedudukan di Rum. Untuk memperlancar aktivitas pemerintahannya maka pada masa pemerintahan Sultan Djamaluddin (Tjiliriati) tahun 1405-1462 Masehi mendirikan Kedaton dengan nama “Selawaring” Pendirian Kedaton Selawaring ini dapat mempengaruhi perkembangan aktifitas Kesultanan Tidore, sekaligus menjadi embrio sejarah perjuangan dalam mempertahankan dan memperluas wilayah kekuasaan Kesultanan Tidore.

Dalam perkembangan selanjutnya pusat aktifitas pemerintahan yang tadinya berkedudukan di Rum di pindahkan ke Toloa juga dalam wilayah Pulau Tidore. Perpindahan berlangsung pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Syah pada tahun 1633-1653 Masehi dan mendirikan kedaton dengan nama “Biji Nagara” perpindahan pusat pemerintahan dari Rum ke Toloa di dasarkan atas 2 faktor:

1. Faktor politik

Karena kesultanan Tidore dan Kesultanan Ternate pada saat itu saling merebut dan memperluas wilayah kekuasaan sehingga selalu terjadi peperangan antara Tidore dan Ternate, untuk itu di lihat dari faktor politik tidak menguntungkan dari segi keamanan karena letaknya saling berdekatan dengan Ternate.

2. Faktor emosional

Karena pada saat itu Pulau Tidore secara keseluruhan terdiri dari 12 Gimalaha yaitu:

a. Gimalaha Dokiri

b. Gimalaha Banawa

c. Gimalaha Tomanyili

d. Gimalaha Gamtohe

e. Gimalaha Tomaidi

f. Gimalaha Tahisa

g. Gimalaha Tomalou

h. Gimalaha Tonguai

i. Gimalaha Mare

j. Gimalaha Mareku Laho

k. Gimalaha Mareku Laisa

Dari ke 12 Gimalaha di atas 50 % berkedudukan di Toloa yang dalam bahasa Tidore di sebut “Gimalaha Rora” yang artinya enam Gimalaha. Status Gimalaha pada saat itu kalau di bandingkan dengan sistim pemerintahan sekarang adalah sebagai DPR, atas kesepakatan Gimalaha Rora dan Gimalaha Tuguiha maka mereka memindahkan Sultan yang tadinya berkedudukan di Rum di pindahkan ke Toloa (wawancara dengan Ismail Dukomalamo,S.Pd, tanggal 28 Maret 2007).

Selama pusat pemerintahan berada di Toloa kurang lebuh 24 tahun aktivitas kesultanan kurang berkembang, sehingga pada masa pemerintahan Sultan Saifuddin, beliau memerintahkan kepada ahli nujum untuk melihat sebab-sebab kurang berkembangnya aktivitas pemeritahan tersebut. Dari ahli nuzum di ketahui bahwa kurang berkembangnya aktivitas pemerintahan di sebabkan karena Sultan (Jou) berada di daerah matahari terbenam yang sebetulnya Sultan harus berada di daerah matahari terbit. Sehingga hal ini di sampaikan kepada ke 12 Gimalaha, akhirnya ke 12 Gimalaha mengambil keputusan untuk memindahkan aktivitas pemerintahan dari daerah matahari terbenam ke daerah metehari terbit yakni dari Toloa ke Limau Timure sekarang Soasio. Perpindahan berlangsung pada masa pemerintahan Sultan Saifuddin alias Jou Kota (Sultan yang di antarkan) tahun 1660 Masehi. Setibanya Sultan Saifuddin di Limau Timore maka beliau mendirikan dengan nama “Kie” yang artinya gunung / daerah dan peristiwa berlangsung pada tahun 1661 Masehi.

Namanya Kedaton Kie, hal ini menunjukan bahwa Kedaton tersebut adalah milik seluruh rakyat Tidore untuk itu tanggung jawab aktivitas pemerintahan bukan hanya berada di tangan seorang Sultan (Jou) tetapi lebih dari itu adalah tanggung jawab seluruh rakyat Tidore.

Kedaton Kie pada saat pertama didirikan belum dalam bentuk permanent tetapi di buat dari bambu (dinding) dan alang-alang (atap), dalam perkembangan selanjutnya yaitu pada masa pemerintahan Sultan XXX (Sultan Muhiddin Muhammad Taher) tahun 1811-1831, beliau menggantikan Kedaton bambu dengan permanent. Pembangunan Kedaton permanen di mulai pada tahun 1811 Masehi dan berakhir pada tahun 1861 Masehi (50 tahun). Arsitektur atau tukang (Kipu) bernama “Belo Tuduho”.

Pada masa Pemerintahan Sultan Muhiddin Muhammad Taher Kedaton tersebut belum selesai di bangun, dan di lanjutkan oleh Sultan XXXI (Sultan Mansur Siradjuddin) berkuasa pada tahun 1831-1856, juga belum bisa di selesaikan pembangunan Kedaton tersebut. Akhirnya di selesaikan oleh Sultan Ahmad Saifuddin (Sultan XXXII) berkuasa pada tahun 1856-1865 Masehi, jadi yang menempati Kedaton permanen pertama adalah Sultan XXXII. Menurut catatan sejarah Kedaton Kie (permanen) hanya di tempati oleh tiga orang Sultan yaitu dari Sultan XXXII sampai Sultan XXXIV (1905). Setelah berakhirnya masa pemerintahan Sultan XXXIV maka pemerintahan Belanda tidak mau lagi mengangkat Sultan yang baru dengan alasan tidak ada figur yang baik untuk di nobatkan sebagai Sultan. Dengan demikian terjadi perebutan kekuasaan di kalangan keluarga Sultan yang mengakibatkan kekosongan pemerintahan Kesultanan Tidare selama 42 tahun. Sebagai akibat dari kekosongan pemerintahan maka Kadaton Kie yang tadinya merupakan pusat aktivitas pemerintahan dan tempat tinggal mengalami kehancuran total (wawancaran dengan Maswin A. Rahman, S.Pd , 25 Maret 2007).

a. Lokasi dan Arsitektur

Kadaton Kie di bangun di atas tanah dengan luas keseluruhan 150 x 100 M, berbentuk empat persegi panjang. Bentuk Kadaton mempunyai hubungannya dengan kepercayaan masyarakat setempat, yang dalam bahasa Tidore di sebut “Lang Kie” artinya bagian atas Kadaton tidak bisa membelah gunung tetapi harus sejajar dengan bentuk gunung. Kedudukan Kedaton Kie sangat strategis sebab berada di atas ketinggian 7 M di atas permukaan air laut. Pembangunan Kadaton Kie alat dan bahan yang di gunakan antara lain yaitu:

1. Batu

2. Pasir

3. Kapur

1. Perekat dari getah kayu

Bahan-bahan tersebut di atas semuanya di peroleh di pulau Tidore di kerjakan oleh seluruh masyarakat Kesultanan Tidore. Cara pembuatan Kadato ini bisa di katakana masih sederhana yaitu; kapur dan pasir di aduk sampai ratah dengan getah kayu kemudian di tinggalkan selama satu hari, setelah itu di aduk lagi dengan getah kayu kemudian batu-batu di atur dan di lengketkan dengan campuran tersebut (wawancara dengan M. Amin Faruuk tanggal 14 Januari 2007).

b. Dinding Kadaton

Dinding bangunan utama, tebal rata-rata90 cm dan tebal fondasi 1 meter, terdiri dari pemasangan jenis batu campuran yaitu; jenis batu karang dan jenis batu granit. Ukuran batu tersebut adalah 20-25x25-30 cm. Inipun tidak terlalu beraturan sehingga pemasangan batu-batupun tidak beraturan, vertical maupun horisontal. Kedaton Kie di kelilingi dengan pagar, dengan ukuran masing-masing; tebal dinding 40 cm, tebal fondasi 50 cm dan tinggi tembok 3 meter.

c. Ruang-ruang Kadaton

Arsitektur bangunan Kedaton Kie seluruh konstruksi bangunan berhungan dengan Islam yakni jumlah anak tangga sebanyak lima (5), dan tangga samping yang terdiri dari 17 anak tangga. Jumlah 5 dan 17 mempunyai hubungan dengan penyiaran agama Islam pada saat itu, dimana jumlah 5 menunjukkan banyak waktu dalam Shalat (5 kali sehari semalam) dan di dalam 5 waktu tersebut terdapat 17 rakaat.

Menurut catatan sejarah dan peninjauan penulis di lapangan bahwa ruangan dalam Kedaton terdiri dari; Kamar Sultan, kamar keluarga, kamar mandi, gudang makanan, ruang rapat I, dan ruang rapat II. Kedaton Kie juga di lengkapi dengan dua buah rumah monyet dan satu buah lapangan yang di beri nama “Sonyige Salaka” yang artinya lapangan perak. Seperti di katakana di atas bahwa kondisi Kadaton dalam keadaan rusak, kerusakan ini tidak saja di sebabkan oleh factor ketuanan, tetapi juga akibat dari ulah manusia sekitarnya yang sengaja merusak bangunan tersebut untuk di ambil batu-batunya guna keperluan rumah mereka.

Keadaan Kadaton Kie Dewasa Ini

Kadaton Kie dewasa ini telah mengalami proses renovasi kembali secara total dan untuk proses ini pemerintah daerah dan Kesultanan Tidore telah melakukan kunjungan ke negeri Belanda dalam upaya mendapatkan gambar orisinil kedaton Kie. Anggaran pembangunan kembali Kedaton Kie dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Tidore Kepulauan. Pembangunan kembali kedaton Kie merupakan dambaan seluruh rakyat Tidore yang melihat kembali Istana kesultanan yang menjadi bukti kejayaan kesultanan Tidore di masa lampau.

Untuk menjaga kelestariannya maka lokasi Kadaton berada di bawah pengawasan pihak Departemen Pariwisata Kota Tidore Kepulauan. Secara keseluruhan dari kondisi dan situasi Kadaton dapat di jelaskan sebagai berikut.

1. Pagar Kadaton

Kondisi pagar Kadaton sekitar 45 % sudah di renovasi.

2. Dinding dan ruangan dalam Kadaton

- Dinding-dinding Kadaton sekitar 85% telah diperbaiki.

- Ruangan dalam Kadaton sekitar 85% diperbaiki.

Hingga sekarang ini tilah dilakukan upaya-upaya merampungkan pembangunan kembali Kedaton Kie dan tindakan-tindakan penyelamatan lainnya demi untuk kelestariannya.

3. Situasi dan kondisi lingkungan sekitar Kadaton Kie.

Luas Kadaton adalah 150x100 meter =1500 meter persegi dan sekarang ini di jadikan obyek sejarah. Di depan Kadaton sekitar 300 meter terdapat bekas jembatan yang panjangnya sekitar 125 meter ke laut. Di sebelah Utara terdapat rumah-rumah rakyat, sebelah Selatan terdapat kompleks pemakaman Sultan Tidore, di depan Kadaton juga terdapat lapangan Sonyinge Salaka, di dalam lapangan tersebut terdapat makam Sultan Zainal Abidin Syah, dan di belakang Kadaton terdapat kebun-kebun rakyat.

0 komentar:

Agung 2015

Montage dibuat Bloggif

Buton 3

Buton 2

Molukken 2

Molukken

Wael Historian

Perjuangan terbesar bagi sejarahwan adalah membuktikan kebenaran sejarah secara ilmiah. hehe. ...Read More

Buton Island

Istriku



Daftar Blog Saya

Total Tayangan Halaman

Agung

Agung

Pengikut

About Me

Foto Saya
WAEL HISTORIAN
Seorang anak maritim yang dilahirkan di Dusun Terpencil di Pulau Seram Propinsi Maluku.
Lihat profil lengkapku

About


Tab 1.1 Tab 1.2 Tab 1.3
Tab 2.1 Tab 2.2 Tab 2.3
Tab 3.1 Tab 3.2 Tab 3.3

Iklan


Iklan

Iklan

Blogger templates

Diberdayakan oleh Blogger.

Postingan Populer

Entri Populer

Entri Populer