SUATU EPISODE SEJARAH MAJAPAHIT-DEMAK
Sumber : TBG, jilid 24, tahun 1877
F.S.A. de Clercq
Di wilayah luar Jawa jarang ditemukan keterangan yang bisa dinyatakan sebagai sumbangan bagi sejarah pulau itu, terutama dengan alasan banyak suku-suku yang tinggal di sana pada zaman dahulu tidak mengenal tulisan, dan kisah-kisah baru kemudian dicatat. Hal ini terjadi dengan naskah Melayu yang memuat sejarah raja-raja Banjarmasin dan Kotaringin, yang kisahnya merupakan gambaran tentang kondisi kerajaan Majapahit pada saat itu, sehingga di Banjar bantuan raja Jawa diminta. Sejauh ulasan ini memuat apa yang kita kenal dari sumber-sumber pribumi di Jawa, penerbitan ini menurut pendapat saya sangat berharga dan naskah Melayu selalu dilampiri dengan terjemahan yang beritanya dikutip oleh Lassen, Meinsma dan sebagainya. Apabila melalui berkas ini tidak bisa dijelaskan atau diungkapkan, namun perhatian perlu dicurahkan sebagai sesuatu yang khusus, apa yang dari tempat lain dikisahkan tentang salah satu kerajaan besar di Jawa sebagai kenangan rakyat.
KISAH PATIH MASIH KEPADA
PANGERAN SAMODERA TENTANG CARA
BAGAIMANA MAJAPAHIT, DAN SULTAN DEMAK
SEBAGAI RAJA PERTAMA DI JAWA
Menurut kisah masa lalu, di zaman dahulu raja Majapabit Tunggal Meteng (terutama dia adalah Angka Wijaya, meskipun nama patih juga menunjuk pada Brawijaya. Menurut Lassen, Marca Wijaya bisa menunjukkan apa yang tampaknya patut diragukan karena tentang kekuasaannya yang besar dengan jelas diungkapkan. Dia kemudian digantikan oleh cucunya, yang tidak terbukti; terutama karena AW dikenal sebagai sangat patuh, dan di bawah pemerintahannya kedudukannya ditempatkan di Ampel), dan patihnya adalah Gajah Mada. Semua bangsawan di Jawa tunduk kepadanya dan berbagai daerah seperti Banten, Jambi, Palembang, Bugis, Makasar, Johor, Patani, Pahang, Minangkabau, Aceh, Pasir mengakui kekuasaannya.
Setelah kematian patih itu, raja juga wafat dan digantikan oleh cucunya sebagai raja Majapahit. Patih Majapahit disebut Dipati Mahangurak dan patihnya adalah Mahurdara. Pada masa ini, Dipati Mahangurak memberikan perintah kepada warga Majapahit untuk melamar putri Pasir dengan tiga perahu dan seorang mantri yang kaya (dari kesepakatan dengan kerajaan Pasir di Borneo, penulis kronik ini berganti nama dengan Pasei yang diduga tidak dikenal olehnya di Pantai Utara Sumatra, daerah Melayu pertama yang menerima Islam. Kata melamar yang digunakan dalam naskah ini diambil alih dari bahasa Jawa).
Raja Pasir tidak menemukan jalan keluar karena sebagai seorang Islam dia tidak bisa memberikan putrinya dan toh tetap takut menolak lamaran itu, karena raja Majapahit sangat berkuasa dan banyak daerah yang tunduk kepadanya. Tetapi dia menyerahkan putrinya dengan alasan agar tidak membawa bencana bagi negara dan kawulanya. Tidak disebutkan berapa lama mereka mengarungi samodera, sampai mereka tiba di sana dan Gagak Batang menyerahkan putri Pasir kepada rajanya. Wanita ini menerima berbagai hadiah dan oleh raja Majapahit diangkat menjadi istrinya. Tetapi dia menerima sebuah rumah khusus, tidak berhubungan dengan para selir dan tidak makan makanan haram.
Setelah selama beberapa saat hidup bersama, putri Pasir itu hamil dan ketika waktunya tiba dia melahirkan seorang putra. Pada saat itu saudaranya Raja Bungsu tiba dan tinggal di Majapahit selama kira-kira setahun. Ketika kembali, dia dicegah oleh sang putri yang berkata:”Saudaraku, jangan pergi dahulu karena tidak ada dari kerabatku yang tinggal di sini”. tetapi Raja Bungsu mendesak untuk berangkat dan sampai dua atau tiga kali sang putri menahannya. Kini raja Majapahit berkata:”Tinggallah di sini selama beberapa tahun, karena saudarimu sangat merindukanmu, apabila dia sakit. Apabila engkau tinggal di sini, pilihlah tempat untuk membangun rumah dan aku akan memberikannya” (283)
Raja Bungsu tidak berangkat tetapi menyuruh para pengikutnya untuk kembali memberitahu ayahnya raja Pasir bahwa dia ditahan oleh putri dan raja Majapahit, dan dia serta putri akan mengirimkan berbagai hadiah. Mereka pergi yang menerima perintah itu dan tidak dilaporkan berapa lama perjalanan di laut. Beberapa orang tiba di Pasir, mengunjungi raja dan menyampaikan semuanya tentang Raja Bungsu, dan memberikan hadiah darinya serta dari putri. Raja terdiam dan tidak berkata apapun. Kini hanya disebutkan hubungan tentang raja Majapahit dan Raja Bungsu, yang diperkenankan untuk memilih di mana dia ingin tinggal. Raja Bungsu memilih sebuah tempat yang dahulu dihuni oleh manusia (sebuah pedusunan), yang disebut dukuh Ampil Kedang (tinggal di Ampil, menimbulkan dugaan bahwa dia adalah orang yang sama seperti ulama Arab Raden Rahmat, yang kemudian tinggal di Ampel di dekat Surabaya bersama 3 ribu keluarga) dan yang memerintahkan pembabatan hutan untuk mendirikan sebuah rumah.
Raja Majapahit memerintahkan kawulanya untuk membuka tanah di sana; dan ada pohon-pohon besar yang ditebang dan mereka menjadikannya sebagai tiang. Di tempat didirikannya sebuah rumah bagi Raja Bungsu dia tinggal bersama lima orang kawula dan abdinya. Sampai sekarang nama tempat itu adalah Ampil Kedang. Ketika Raja Bungsu tinggal di sana selama beberapa saat, desa-desa yang terletak di sekitarnya semuanya masuk Islam. Tetapi dia tidak berani dan merasa takut. Dia mengirimkan pengikutnya kepada sang putri dan berkata kepadanya:”(284) Kami dikirim oleh sesembahan kami Raja Bungsu, yang meminta Anda untuk berbicara dengan raja Majapahit tentang desa-desa sekitarnya, yang semuanya ingin memeluk Islam”. Di sini putri memberitahu suaminya apa yang dikatakan oleh saudaranya, raja menjawab:”Katakan kepada adikku bahwa siapapun yang akan memeluk agama Islam silahkan pergi. Aku tidak melarang – bukan hanya warga desa tetapi juga penduduk Majapahit bila mereka menghendakinya, jadilah umat Islam yang saleh”.
Setelah raja mengatakan demikian, utusan itu meminta ijin untuk kembali dan semua yang dibicarakan dilaporkan kepada Raja Bungsu, di mana setiap orang yang menghendaki bisa menjadi Islam dan berpegang teguh pada ajaran Nabi. Disampaikan kepada kawulanya bahwa Raja Bungsu tumbuh melebihi raja Majapahit. Kini ada seorang mantri yang bernama Si Api (mungkin pengacauan dari Siapik, seorang intelektual) yang bekerja sebagai petinggi dan berasal dari Jipang (menurut sumber Jawa, Jipang adalah tempat tinggal Sunan Kudus). Dia datang bersama empat atau lima orang warga untuk mempersembahkan kelapa, pisang, buah-buahan (ubi dan gembili), sirih, pinang, beras dan ayam kepada Raja Bungsu. Petinggi terkejut melihat Raja Bungsu, dia berlutut di depan kakinya dan memintanya agar mereka bisa masuk Islam. Raja Bungsu bersedia melakukannya dan mengajari mereka tentang kewajiban agamanya. Petingi setelah itu meminta ijin kepadanya untuk pulang dan setibanya di rumah, dia berkata kepada istri, anak-anak dan anggota keluarganya:”Hai kerabatku semua, jika engkau ingin sama seperti aku, jadilah Muslim, karena aku telah menerimanya”. Semuanya menganggap baik dan menghadap kepada Raja Bungsu dengan permohonannya (285), dan mereka juga menerima ajaran itu.
Kemudian petinggi Jipang mempersembahkan putrinya kepada Raja Bungsu dan berkata:”Saya memberikan putriku kepada Anda agar Anda perlakukan sesukanya; saya akan sangat berkenan karena saya bisa beruntung apabila Anda menunjukkan kehormatan ini kepadaku”. Raja Bungsu menjawab:”Kuterima persembahanmu”. Setelah itu, putri petinggi Jipang itu diambil istri oleh Raja Bungsu, dan bersama wanita tersebut dia hidup bersatu. Petinggi melaksanakan upacara itu dan diangkat menjadi penghulu. Dikisahkan bahwa ketika penghulu Jipang sudah dikenal, dia memisahkan diri dari Raja Bungsu dan pada hari Jumat bertempat di Ampel Kedang. Desa-desa yang terletak di dekatnya juga ikut masuk Islam.
Ketika raja Majapahit mendengar hal ini, dia tidak marah karena penyebabnya Raja Bungsu tidak menarik diri. Putra yang lahir dari perkawinan saudari Raja Bungsu dengan raja Majapahit, yang kemudian dinikahkan dengan seorang putri raja Bali, telah hamil tiga bulan. Putri penghulu Jipang yang menikah dengan raja Bungsu menerima dua anak: yang sulung adalah putra dan yang bungsu adalah putri, tetapi mereka masih kecil. Pertama-tama putri raja Bali mengandung dan ketika waktunya tiba dia melahirkan seorang putra. Setelah anak ini lahir, ibunya meninggal.
Anak itu juga membunuh orang yang menggendongnya. Karena alasan ini raja Bali berkata:”Apabila demikian, anak ini adalah mahluk gaib dan tidak perlu hidup karena akan membuat manusia menderita” (286) Raja menyuruh anak itu dilemparkan kelaut:”Jangan sampai ada di Bali karena bencana akan melanda negeri ini”. Setelah itu anak tersebut dilempar ke laut. Oleh pujangga dikisahkan bahwa seorang utusan Nyai Suta Pepatih di Gresik, yang bernama Juragan Balan yang segera ingin kembali ke laut selat Blambangan, melihat sesuatu yang bersinar (ini merupakan gambaran yang berubah tentang apa yang dicatat secara singkat oleh Lassen dan lebih panjang dimuat dalam TNI jilid 1 bagian II halaman 277. Pada bagian terakhir, putri yang menerima anak itu disebut Nyai Ageng Pinate, di mana dengan mudah bisa diduga Pepatih, terutama karena kata ini juga ditulis pengatih).
Ketika didekati dia melihat sebuah peti mati. Dia berusaha menariknya dengan sebuah galah, dan setelah tutup peti itu dibuka dia melihat seorang anak kecil. Juragan itu berkata:”Dia tampak menatap tajam, membuat kita takut dan bawalah serta anak ini, karena Nyai Tumenggung tidak memiliki anak, dan menurut pendapat saya jelas anak ini akan senang. Orangtuanya tidak diketahui. Saya menduga bahwa orangtuanya adalah keturunan bangsawan, karena penampilannya berbeda dengan anak-anak lain”. Warganya menjawab:”Kami takut kembali karena bisa membuat Nyai Tumenggung marah”.
Juragan itu meneruskan:”Apabila Nyai Tumenggung menunjukkan kemarahan, maka saya akan bertanggungjawab: apabila dia marah, dia bisa menjualku bersama istri dan anak-anakku. Aku berani membawa sebuah perahu pergi ke arah lain dan menghindari kemarahannya”. Awak kapal itu berkata:”Apabila memang demikian perkataanmu, maka kami mengikutimu tetapi bagaimana dengan angin karena kami tidak bisa kembali dengan angin barat?” (287). Angin barat kini berhenti dan angin timur berhembus, dan perahu itu berlayar kembali. Kemudian angin berhembus dari selatan, dan awak kapal merasa takut dan berkata:”Dalam hal ini anak itu membawa berkah bagi kita”. Ketika itu mereka tiba di Gresik. Juragan mengambil peti itu dan bersama anak tersebut membawanya ke darat, Nyai Suta berkata dan seperti yang disampaikan kepada para awak kapal, dia juga berbicara sekarang:”Saya hanya berani menanggung sendiri kemarahanmu, apabila engkau memerintahkan agar aku dihukum bersama istri dan anak-anak, maka aku tidak akan melawan karena aku berani mengambil anak ini, tetapi engkau lebih mencintai seorang anak; tentang orangtuanya tidak ada kepastian; saya tidak takut pada kemarahanmu”.
Nyai Suta Pepatih menjawab:”Bersyukurlah engkau telah mengambilnya, seolah-olah engkau membawa sepuluh potong kain. Jangan sampai rusak. Semua yang menjadi hartaku berada dalam perahu, bagikan kepada rakyat sebagai hadiah dariku, dan bawalah perahu itu”. Juragan dan awak kapal merasa sangat bangga. Anak itu kini dipelihara oleh Nyi Suta, dan dia juga menyusuinya. Tetapi anak ini tidak bersedia menyusu dan dimasukki makanan dalam mulutnya dan diberi minum dengan santan. Nyai Suta Pepatih memelihara anak ini dengan sangat hormat, dan sejak saat itu harta kekayaan mereka semakin bertambah ketika anak itu terawatt dengan baik.
Mahudara meninggal dan begitu juga raja Majapahit. Putri Pasir yang menjadi istri raja Majapahit tinggal pada suaminya. Ketika raja ini wafat, dia tinggal di Ampil Kedang, berubah agama dan memeluk Islam bersama saudaranya Raja Bungsu. (288) Di kerajaan Majapahit terjadi pemberontakan dan semua penduduk menyebar ke segala penjuru, beberapa ke Bali, yang lain ke Tuban, Madura dan Sedayu. Mereka tinggal di berbagai tempat masing-masing. Pertama-tama di Jawa sejumlah desa dekat Ampil Kedang masuk Islam, setelah itu penghulu Jipang, kemudian Demak, Gresik, Surabaya, Kudus dan akhirnya daerah lainnya di Jawa.
Setelah Majapahit, kerajaan terbesar adalah Demak di bawah seorang Sultan, yang bernama Sri Alam, raja yang mendirikan Kuta Ramaya. Penulis sejarah mengisahkan bahwa putra Raja Bungsu disebut Wali Allah, juga disebut Pangeran Bomang. Putri Raja Bungsu diambil sebagai istri Sunan Kudus, dan setelah itu menerima pelajaran dari Raja Bungsu, sehingga Sunan Kudus juga disebut Wali Allah atau Pangeran Mahadam. Anak yang ditemukan di laut dekat selat Blambangan juga menjadi Wali Allah dan disebut Pangeran Giri (hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan Lassen). Banyak yang tidak dicatat, tetapi dikisahkan oleh tukang cerita.
KESADARAN DEKONSTRUKTIF DAN HISTORIOGRAFI INDONESIASENTRIS Oleh La Raman
Ketika perbincangan tentang sastra dan sejarah memasuki dunia wacana dekonstruktif di samping konstruktif dan rekonstruktif. Sebagai sebuah realitas yang dibayangkan, sejarah dan sastra sering dianggap berada dalam tataran yang sama. Pada tataran praktis antara fakta dan fiksi tidak ada perbedaan yang berarti secara tekstual, sehingga sastra dan sejarah dapat diasosiasikan bergulat di dalam satu bidang yang sama, yaitu bahasa.
Berdasarkan cara berpikir di atas, sejarah sebagai kenyataan hanya merupakan sesuatu yang terjadi satu kali di masa lalu dan tidak berulang, sedangkan sejarah sebagai sebuah rekonstruksi tertulis dan lisan yang kita kenal saat ini adalah produk dari bahasa, wacana, dan pengalaman sesuai dengan konteksnya. Pada tingkat teoretik dalam pengertian teori sejarah konseptual, adanya perbedaan itu sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru dalam ilmu sejarah. Para pendukung positivisme atau empirisisme dan idealisme atau relativistisme telah bersilang pendapat sejak lama baik tentang arti, pemahaman, eksplanasi, objektivitas-subjektivitas maupun faktor-faktor determinan dalam sejarah, dan hal serupa terjadi ketika tradisi hermeneutika, historisisme baru, post-modernisme, dan postkolonial menolak kepastian masa lalu yang ditawarkan oleh para pendukung modernisme.
Dalam perkembangan ilmu sejarah, pembahasan tentang persoalan fakta dan fiksi ini sebenarnya bukan sesuatu yang sederhana. Eric Hobsbawm yang sering dianggap berseberangan dengan para pendukung post-modernisme berpendapat, idiologisasi dan mitologisasi sejarah yang menjadi dasar dari subjektivitas sejarah dibangun tidak didasarkan pada kebohongan atau fiksi melainkan karena anakronisme, walaupun sebagian besar sejarawan masih tetap berpendapat bahwa hal itu lebih banyak disebabkan oleh kekeliruan atau kesengajaan. Hal itu terjadi karena intetpretasi terhadap fakta sejarah dalam proses rekonstruksi dilakukan tidak sesuai dengan kenyataan struktural dan kultural yang melingkupinya pada waktu sebuah peristiwa terjadi.
Cara berpikir yang hampir serupa nampaknya yang mendorong Georg G. Iggers akhirnya berpendapat bahwa pendekatan linguistik dari post-struktural atau pendekatan sosial-kultural dari historisisme baru lebih cocok bagi kritik sastra daripada penulisan sejarah.
Alun Munslow beranggapan bahwa sejarah tidak akan ada bagi para pembaca sampai sejarawan menulisnya sebagai sebuah naratif. Realitas masa lalu dalam pengertian ini adalah sesuatu yang ditulis tentang masa lalu itu, bukan hanya sekedar masa lalu sebagaimana yang terjadi. Oleh sebab itu bagi Munslow, sejarah tidak hanya sekedar pengkajian tentang perubahan dalam konteks waktu melainkan sejarah merupakan pengkajian tentang informasi atau pengetahuan yang dihasilkan oleh sejarawan.
Terlepas dari perbedaan di atas yang menyangka tuntutan terhadap kebenaran empirik dan komitmen terhadap intersubjektivitas pada rekonstruksi masa lalu, pada tingkat metodologis, historisisme baru telah mendorong munculnya kesadaran dekonstruktif bahwa kehidupan sehari-hari juga merupakan bagian yang integral dari proses sejarah. Pengkajian sejarah mulai bergerak dari sejarah makro yang didasarkan pada tradisi pendekatan ilmu-ilmu sosial menjadi sejarah mikro yang didasarkan pada pengalaman kehidupan sehari-hari orang kebanyakan.
Akan tetapi bagi Georg G. Iggers dan beberapa penulis lain yang bersikap kritis terhadap tradisi sejarah mikro ini, walaupun tetap mendukung ide-ide dasarnya, para pendukung teori sejarah post-modemisme dianggap tetap saja menggunakan prinsip-prinsip ilmu-ilmu sosial ketika mencoba memulihkan subjektivitas dan individualitas dari persoalan yang dihadapi.
Pada tataran seperti yang telah disebutkan di atas, pernyataan Eric Hobsbawm tentang "perlu dilakukannya pembedaan antara apa yang ada dengan apa yang tidak ada untuk menentukan ada tidaknya sejarah nampaknya akan menjembatani persoalan fakta dan fiksi dalam rekonstruksi masa lalu.
Tahun 1957 merupakan tonggak penting dalam perkembangan historiografi
Sejak awal perkembangannya, historiografi Indonesiasentris ternyata cenderung menjauh dari sejarah objektif karena berkembangnya prinsip dekolonisasi historiografis yang bersifat ultra nasionalis dan lebih mementingkan retorika. Hal itu terutama tercermin di dalam karya generasi-generasi awal sejarawan
Sartono Kartodirdjo, bapak sejarah kritis UGM dan salah satu sejarawan Indonesia terkemuka di abad ke-20, sebenarnya mulai mengalihkan sejarah Indonesia dari kajian yang hanya membahas tentang penguasa kolonial atau kerajaan menjadi pembahasan tentang masyarakat kebanyakan, melalui studinya tentang pemberontakan petani Banten. Menurut sejarawan UGM yang lain, Kuntowijoyo, historiografi dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial itu hanya hidup di menara gading, sehingga kebenaran ilmiah dari rekonstruksi sejarah hanya ada di kalangan kelompok tertentu, yaitu para sejarawan di perguruan-perguruan tinggi. Masih adanya dominasi kolonial dalam historiografi
Cara berpikir yang serupa dapat juga digunakan untuk menjelaskan sejarah Aceh. Penelitian yang dilakukan oleh M. Gade Ismail di Aceh Timur menunjukkan dengan jelas adanya persaingan terus menerus antara ulama dan ulebalang dalam produksi dan perdagangan lada, jauh diluar persoalan intervensi kekuasaan kolonial. Oleh sebab itu, persitiwa perang Aceh tidak dapat dipisahkan begitu saja dari kelanjutan proses dinamika internal masyarakat Aceh sendiri, biarpun penjelasan historis selama ini menempatkan secara dikotomis antara ulebalang yang memihak Belanda. Namun menurut Kuntowijoyo, prinsip autonomous history yang diungkapkan oleh John Ismail, yang menjadi dasar untuk menjelaskan dua kasus di atas, tidak dapat digunakan untuk semua persitiwa yang terjadi pada masa kolonial, karena hal itu akan mereduksi realitas sejarah.
Persoalan lain yang juga perlu diperhatikan, ketika sebuah reinterpretasi yang berbeda terhadap realitas masa lalu dilakukan, historiografi
Perempuan baik sebagai objek maupun wacana sejarah merupakan salah satu unsur yang juga hilang dalam historiografi
Di samping hilangnya perempuan, historiografi
Cara berpikir di atas juga menimbulkan marginalisasi terhadap unsur Cina dalam proses sejarah
Berdasarkan paparan di atas, ditemukan beberapa paradok ketika mencoba mencari akar kesadaran dekonstruktif dalam historiografi
KESADARAN DEKONSTRUKTIF DAN HISTORIOGRAFI INDONESIASENTRIS Oleh Raman
Bagi sebagian sejarawan
Antara Fakta dan Fiksi
Ketika perbincangan tentang sastra dan sejarah memasuki dunia wacana dekonstruktif di samping konstruktif dan rekonstruktif. Sebagai sebuah realitas yang dibayangkan, sejarah dan sastra sering dianggap berada dalam tataran yang sama. Fiksi dan fakta tidak dapat begitu saja secara kaku diasosiasikan hanya dengan salah satu di antara keduanya, yaitu hanya berkaitan dengan sastra atau hanya dengan sejarah.
Pada tataran praktis antara fakta dan fiksi tidak ada perbedaan yang berarti secara tekstual, sehingga sastra dan sejarah dapat diasosiasikan bergulat di dalam satu bidang yang sama, yaitu bahasa. Hal ini sejalan dengan pendapat para pendukung post-strukturalisme melalui linguistic turnnya, yang menyatakan bahwa bahasa dalam bentuk budaya dan intelektual merupakan media pertukaran bagi hubungan antar kekuatan dan konstitutor terakhir dari kebenaran da- lam penulisan dan pemahaman tentang masa lalu. Sejarah sebagai sebuah pengetahuan sangat tergantung pada wacana dan bentuk representasi antar teks pada konteks sosial dan institusional yang lebih luas di dalam atau melalui bahasa, karena realitas objektif masa lalu telah berjarak dengan sejarah sebagai ilmu. Dalam konteks ini sejarah sebagai ilmu tidak dapat disebutkan sebagai representasi langsung dari objektivitas masa lalu, karena jarak itu telah mereduksi secara langsung kemampuan rekonstruktifnya.
Berdasarkan cara berpikir di atas, sejarah sebagai kenyataan hanya merupakan sesuatu yang terjadi satu kali di masa lalu dan tidak berulang, sedangkan sejarah sebagai sebuah rekonstruksi tertulis dan lisan yang kita kenal saat ini adalah produk dari bahasa, wacana, dan pengalaman sesuai dengan konteksnya. Hal itu berarti sebagai sebuah realitas, sejarah hanya ada di masa lalu dan tidak mungkin dapat dijangkau oleh sejarawan yang ada pada masa "kini". Rekonstruksi sejarah adalah produk subjektif dari sebuah proses pema- haman intelektual yang dilambangkan dalam simbol-simbol kebahasaan atau naratif dan dapat berubah dari waktu ke waktu, dari satu tempat ke tempat yang lain, atau dari satu orang ke orang yang lain. Sementara itu, pada saat yang sama sastra berhasil menampilkan citra dirinya sejajar sebagai sejarah, karena mampu menghadirkan situasi faktual dan masa lalu sebagai sebuah naratif melalui imajinasi kebahasaannya. Hal itu berarti, kebenaran sejarah maupun sastra adalah kebenaran relatif. Demikian juga tidak ada kebenaran absolut yang dapat ditemukan, sehingga tidak selalu diperlukan teori penjelasan yang dapat diverifikasi melalui pengujian empirik. Bagi para sejarawan konvensional yang sangat percaya pada adanya kebenaran sejarah mutlak, hal itu tentu saja akan menimbulkan masalah pada tataran epistimologi. Hal itu disebabkan karena pendapat ini sangat bertentangan dengan kelompok yang dikatagorikan Alun Munslow sebagai crude reconstrucsionist atau pendekatan unreflexive modernist, yang melakukan interpretasi secara naif dan percaya secara absolut pada empirisme serta kemampuan melakukan kajian terhadap sumber untuk menemukan kejadian sejarah.
Pada tingkat teoretik dalam pengertian teori sejarah konseptual, adanya perbedaan itu sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru dalam ilmu sejarah. Para pendukung positivisme atau empirisisme dan idealisme atau relativistisme telah bersilang pendapat sejak lama baik tentang arti, pemahaman, eksplanasi, objektivitas-subjektivitas maupun faktor-faktor determinan dalam sejarah, dan hal serupa terjadi ketika tradisi hermeneutika, historisisme baru, post-modernisme, dan postkolonial menolak kepastian masa lalu yang ditawarkan oleh para pendukung modernisme. Dalam bahasa Stephen Greenblatt yang dianggap sebagai pioner historisisme baru, "historisisme lama dianggap bersifat monologis, hanya tertarik untuk menemukan visi politik tunggal, percaya bahwa sejarah bukan hasil interpretasi sejarawan, dan juga dianggap sebagai hasil kepentingan kelompok sosial tertentu dalam pertentangannya dengan kelompok lain.
Dalam perkembangan ilmu sejarah, pembahasan tentang persoalan fakta dan fiksi ini sebenarnya bukan sesuatu yang sederhana. Eric Hobsbawm yang sering dianggap berseberangan dengan para pendukung post-modernisme berpendapat, "idiologisasi dan mitologisasi sejarah yang menjadi dasar dari subjektivitas sejarah dibangun tidak didasarkan pada kebohongan atau fiksi melainkan karena anakronisme, walaupun sebagian besar sejarawan masih te- tap berpendapat bahwa hal itu lebih banyak disebabkan oleh kekeliruan atau kesengajaan. Hal itu terjadi karena intetpretasi terhadap fakta sejarah dalam proses rekonstruksi dilakukan tidak sesuai dengan kenyataan struktural dan kultural yang melingkupinya pada waktu sebuah peristiwa terjadi. Menurut Hobsbawm, apa yang diteliti oleh sejara- wan adalah real, sehingga ia m.enolak pendapat yang menya- takan bahwa realitas objektif itu tidak dapat ditemukan. Ia lebih lanjut mengatakan, "terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara fakta dan fiksi serta antara pernyataan sejarah yang didasarkan bukti dan pernyataan literer yang tidak didasarkan bukti", ketika masa lalu direkonstruksi hanya di dalam pikiran, bukan sebagai realitas. Dalam kon- teks yang terakhir ini, beberapa pendapat R.G. Collingwood tentang entitas sejarah seolah-olah muncul kembali.
Cara berpikir yang hampir serupa nampaknya yang mendorong Georg G. Iggers akhirnya berpendapat bahwa pendekatan linguistik dari post-struktural atau pendekatan sosial-kultural dari historisisme barn lebih cocok bagi kritik sastra daripada penulisan sejarah, biarpun ia tetap menyadari tentang arti penting faktor kultural dalam merekonstruksi masa lalu seperti yang dikatakan oleh Joan W. Scott dan Lynn Hunt. Menyitir pendapat Carroll Smith-Rosenberg, Iggers lebih jauh mengatakan bahwa "para sejarawan akan lebih setuju terhadap pendapat yang menyatakan bahwa linguistik membedakan struktur masyarakat dan perbedaan sosial menstrukturkan bahasa sebagai salah satu fakta di dalam sejarah umat manusia, daripada pendapat yang menyatakan bahwa realitas sejarah tidak pernah ada, dan yang ada hanya bahasa yang berbentuk naratif sebagai representasi masa lalu.
Perdebatan di atas tentu saja menimbulkan pertanyaan tentang relevansi historisisme baru sebagai bagian dari kesadaran dekonstruktif bagi pengkajian sejarah. Bagi para sejarawan seperti Lawrence Stone, historisisme barn tentu saja merupakan ancaman bagi tradisi pengkajian sejarah secara konvensional, karena mengesampingkan actual historical past dalam penulisan sejarah. Namun bagi Alun Munslow historisisme baru sama dengan sejarah dekonstruktif, karena merupakan tantangan bagi paradigma empirik. Berbeda dengan pemahaman konseptual yang didasarkan pada pemikiran awal Jacques Derrida atau Michel Foucault yang menjadi dasar bagi sebagian besar teori sejarah post-modern atau post kolonial, kesadaran dekonstruktif menurut Alun Munslow tetap didasarkan pada fakta biarpun ia beranggapan bahwa sejarah tidak akan ada bagi para pembaca sampai sejarawan menulisnya sebagai sebuah naratif. Realitas masa lalu dalam pengertian ini adalah sesuatu yang ditulis tentang masa lalu itu, bukan hanya sekedar masa lalu sebagaimana yang terjadi. Oleh sebab itu bagi Munslow, sejarah tidak hanya sekedar pengkajian tentang perubahan dalam konteks waktu melainkan sejarah merupakan pengkajian tentang informasi atau pengetahuan yang dihasilkan oleh sejarawan". Secara naratif, hanya sejarawan yang menghasilkan masa lalu, sedangkan masa lalu itu sendiri terkurung dalam dimensi waktu dan ruangnya tanpa dapat dijangkau secara fisik. Selain itu Jorn Rusen mengatakan bahwa kebenaran seja- rah sebagai sebuah naratif baru akan masuk akal jika didukung tidak hanya oleh validitas empiris melainkan juga validitas normatif. Dalam konteks rasionalitas metodologis sekalipun, berbicara tentang netralitas di dalam rekonstruksi sejarah adalah sesuatu yang sia-sia. Oleh karena itu seperti kebanyakan para relativistis di masa lalu, Rusen mengatakan bahwa neutrality is the end of history.
Terlepas dari perbedaan di atas yang menyangka tuntutan terhadap kebenaran empirik dan komitmen terhadap intersubjektivitas pada rekonstruksi masa lalu, pada tingkat metodologis, historisisme barn telah mendorong munculnya kesadaran dekonstruktif bahwa kehidupan sehari-hari juga merupakan bagian yang integral dari proses sejarah. Pengka- jian sejarah mulai bergerak dari sejarah makro yang didasarkan pada tradisi pendekatan ilmu-ilmu sosial menjadi sejarah mikro yang didasarkan pada pengalaman kehidupan sehari- hari orang kebanyakan. Jika sejarah yang didasarkan pada pendekatan ilmu-ilmu sosial menghalangi aspek kualitatif dari masa lalu, maka sejarah mikro menampilkan wajah manusiawi dari masa lalu. Menurut pendapat ini, sejarah struktural yang hanya terpaku pada pendekatan ilmu-ilmu sosial gagal merekonstruksi dan memahami aspek kemanusiaan dari fakta-fakta sejarah yang ada. Akibatnya, sejarah hanya dijelaskan sebagai realitas hubungan antara struktur yang rasional dan logis, sebaliknya mengesampingkan sejarah sebagai hasil dari tindakan atau perilaku manusia yang tidak selalu seragam, rasional, dan logis.
Akan tetapi bagi Georg G. Iggers dan beberapa penulis lain yang bersikap kritis terhadap tradisi sejarah mikro ini, walaupun tetap mendukung ide-ide dasarnya, para pendukung teori sejarah post-modemisme dianggap tetap saja menggunakan prinsip-prinsip ilmu-ilmu sosial ketika mencoba memulihkan subjektivitas dan individualitas dari persoalan yang dihadapi. Sejarah mikro dianggap "bukan sebagai altematif untuk menganalisa proses sosial dan politik yang berskala besar, namun hanya sebagai suplemen yang diperlukan.
Pada tataran seperti yang telah disebutkan di atas, pernyataan Eric Hobsbawm tentang "perlu dilakukannya pembedaan antara apa yang ada dengan apa yang tidak ada untuk menentukan ada tidaknya sejarah nampaknya akan menjembatani persoalan fakta dan fiksi dalam rekonstruksi masa lalu". Sejarah sebagai representasi kenyataan masa lalu tidak hanya ditentukan oleh bahasa, karena naratif yang merupakan produk dari bahasa hanya akan ada jika terdapat realitas di masa lalu itu, yang dalam hal tertentu kadang- kadang disebut sebagai pengalaman. Keberadaan peristiwa sebagai suatu bukti empirik akan menjadi penting untuk memungkinkan munculnya validitas naratif pada setiap rekonstruksi yang dilakukan terhadap masa lalu. Secara historis, keberadan kesadaran dekonstruktif itu kemudian berkaitan erat dengan perkembangan historiografi post-kolonial dan feminisme, yang berusaha melakukan perubahan secara struktural dalam melihat keseluruhan proses sejarah sebagai sesuatu yang lebih kongkrit. Menurut Kathleen Canning, keberadaan historiografi post-kolonial dan feminisme merupa-
Perkembangan Tanpa Perubahan Secara Struktural
Kemerdekaan politik yang dicapai pada tahun 1945 telah mendorong sejarawan Indonesia membaca dan menulis kembali sejarah Indonesia dengan label Indonesiasentris, terutama sejak tahun 1950-an. Disamping munculnya optimisme barn untuk menulis sejarah yang kurang subjektif, sejak awal Soedjatmoko dan Mohammad Ali yang banyak menaruh perhatian pada persoalan-persoalan metodologis dalam sejarah Indonesia telah mengkhawatirkan tentang akan munculnya sebuah dekolonisasi historiografis yang diartikan secara sempit dalam proses perkembangan historiografi Indo- nesia pascakolonial.
Tahun 1957 merupakan tonggak penting dalam perkembangan historiografi
Sejak awal perkembangannya, historiografi Indo- nesiasentris ternyata cenderung menjauh dari sejarah objektif karena berkembangriya prinsip dekolonisasi historiografis yang bersifat ultra nasionalis dan lebih mementingkan retorika. Hal itu terutama tercermin di dalam karya generasi-generasi awal sejarawan
Di dalam konteks metodologis yang merujuk pada wacana dasar para relativis, karya-karya itu sebenarnya telah merekonstruksi sejarah berdasarkan interpretasi kekinian, yaitu jiwa zaman yang berkembang pada waktu itu yang menitikberatkan pada nasionalisme, patriotisme, dan revolusi
Secara singkat dapat dikatakan bahwa seolah-olah segala sesuatu yang baik dalam pandangan historiografi kolonial menjadi buruk dalam historiografi Indonesiasentris, namun ironisnya wacana kolonial tidak pernah hilang dari historiografi
Oleh sebab itu biarpun generasi sejarawan
Sartono Kartodirdjo, bapak sejarah kritis UGM dan salah satu sejarawan Indonesia terkemuka di abad ke-20, sebenarnya mulai mengalihkan sejarah Indonesia dari kajian yang hanya membahas tentang penguasa kolonial atau kerajaan menjadi pembahasan tentang masyarakat kebanyakan, melalui studinya tentang pemberontakan petani Banten. Sartono juga mulai beralih dari tradisi penulisan sejarah yang berdasarkan filologi ke arah penulisan dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial. Sejarah struktural atau penulisan sejarah dengan pendekatan multidimensional menjadi ciri penting perkembangan historiografi
Menurut sejarawan UGM yang lain, Kuntowijoyo, historiografi dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial itu hanya hidup di menara gading, sehingga kebenaran ilmiah dari rekonstruksi sejarah hanya ada di kalangan kelompok tertentu, yaitu para sejarawan di perguruan-perguruan tinggi. Berbeda dengan Kuntowijoyo yang lebih melihat problematik historiografi yang dikembangkan oleh Sartono Kartodirdjo itu dalam konteks tidak adanya pengaruh intelektual terhadap kecenderungan umum penulisan sejarah Indonesia, beberapa kajian yang lebih kritis terhadap karya-karya sejarah yang menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial ternyata menemukan adanya kecenderungan bahwa tradisi baru itu masih tetap menempatkan sejarah Indonesia dalam pola pikir lama yang sangat menyederhanakan proses sejarah. Seperti telah disebutkan di atas, berbagai kajian yang berlabel multidimensional itu pun masih tetap memfokuskan eksplanasi historis searah Indonesia di sekitar kolonialisme, sehingga menafikan bukti-bukti empirik tentang adanya independensi kausalitas yang menempatkan sejarah sebagai sebuah proses yang sebenarnya terjadi di sekitar masyarakatnya. Padahal sebagai sebuah proses historis, sejarah pada masa kolonial tidak selalu identik dengan kekuasaan kolonial, karena sejarah yang terjadi merupakan hasil dari interrelasi antar berbagai elemen yang ada pada waktu itu. Kekuasaan kolonial pada prinsipnya hanya merupakan satu dari berbagai elemen yang menjadi bagian dari proses sejarah pada waktu itu. Persoalan bahkan berkembang lebih jauh, ketika penulisan sejarah dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial itu tidak membuka kesempatan kepada sejarawan
Persoalan tentang masih diteruskannnya pembahasan yang memfokuskan pada kekuasaan kolonial daripada masyarakatnya pada rekonstruksi sejarah
Sementara itu tesis yang lain tetap terjebak pada pola pikir yang secara umum dikembangkan dalam tradisi kolonialsentris tentang ciri penduduk bumiputera yang malas atau pembangkang. Akibatnya, beberapa tesis yang membahas tentang dinamika ekonomi lokal tidak dapat menjelaskan secara rasional persoalan kemiskinan, respon penduduk yang rasional terhadap kesempatan ekonomi, atau persoalan tenaga kerja. Hal itu tergambar secara jelas pada tesis tentang beras di Sumatera Barat sebagai contoh, yang hanya melihat aktivitas penduduk dalam ekspansi penanaman padi dalam konteks kebijakan pemerintah kolonial. Padahal jauh sebelum perluasan pengaruh kolonial di wilayah iM, penduduk Sumatera Barat di pusat-pusat penghasil beras telah secara sadar melakukan perluasan penanaman padi atas inisiatif sendiri atau bahkan merespon terhadap kebutuhan pasar. Oleh sebab itu tidak mengherankan, jika hampir sebagian besar tesis yang mencakup masa kolonial memiliki bab yang membicarakan tentang tindakan atau kebijakan pemerintah kolonial yang
mempengaruhi masyarakat namun melupakan dinamika internal masyarakat itu sendiri. Contoh yang lain, sebuah tesis tentang pertambangan di Sumatera Barat secara naif menyim- pulkan bahwa tidak ada orang Minang yang menjadi buruh tambang di Ombilin, dan orang Minang tidak bersedia bekerja sebagai buruh karena hal itu tidak sesuai dengan nilai sosio- kultural mereka yang tidak mau diperintah. Padahal realitas empiris menunjukkan bahwa banyak orang Minang yang bekerja sebagai buruh di tambang-tambang emas di kawasan Rejang Lebong, atau sebagai buruh pemetik kopi dan lada atau penyadap karet di Karesidenan Bengkulu, Lampung, Jambi, dan
Karya lain yang membahas tentang perbanditan di darat dan di laut, juga terjebak dalam alur yang hampir serupa. Biarpun tidak bisa dipungkiri bahwa karya-karya itu telah mampu memberi kontribusi yang sangat besar dalam pem- bahasan tentang dinamika internal masyarakat di tengah- tengah intervensi kolonial yang semakin luas dan dalam, adanya penokohan yang sangat kuat terhadap para bajak laut dan bandit sebagai pahlawan karena aktivitas mereka yang banyak merugikan pemerintah kolonial dan relasinya, dapat dengan mudah dianggap sebagai penyederhanaan terhadap persoalan sebenarnya atau proses sejarah. Akibatnya, ada kesan yang sangat kuat bahwa para bandit itu tidak dapat dihubungkan dengan kriminal, karena aktivitas mereka dipahami sebagai representasi dari "nasionalisme Indonesia" atau reaksi terhadap kekuasaan kolonial dalam arti politic. Padahal dalam kenyataan sejarah dan sosiologis, selalu raja ada kriminal yang sebenarnya, baik karena alasan politik, sosial maupun ekonomis.
Persoalan lain yang mengikuti pola pemahaman sejarah seperti yang telah digambarkan di atas menyebabkan sejarah
Masih adanya dominasi kolonial dalam historiografi
Pendekatan yang sama nampaknya terus digunakan Sartono ketika ia membahas berbagai pergerakan sosial lain di pedesaan Jawa, yang mengesampingkan dinamika internal di dalam masyarakat itu sendiri. Seperti kebanyakan para romantis, Sartono nampaknya percaya bahwa pedesaan merupakan representasi dari kedamaian dan keteraturan. Tidak mengherankan jika Sartono tetap memandang bahwa pendapat yang mengatakan adanya pemerasan oleh bupati terhadap rakyat sebagai pendapat yang tidak memahami struktur birokrasi patrimonial yang berlaku di dalam masyarakat. Penyerahan rutin yang dilakukan para bawahan kepada elite lokal, dianggap Sartono memiliki arti yang berbeda dengan penyerahan wajib yang diberlakukan VOC atau pemerintah Hindia Belanda karena yang pertama merupakan kewajiban dalam konteks kekeluargaan atau hubungan patron-clients, sedangkan yang kedua merupakan bentuk dari eksploitasi negara atau institusi terhadap subjeknya. Padahal penelitian lain menunjukkan secara jelas bahwa pergolakan internal pedesaan merupakan faktor penting untuk memahami perubahan yang terjadi dalam sejarah pedesaan itu sendiri, dan sangat sulit untuk mernungkiri tidak adanya tradisi eksploitatif yang melekat pada penguasa lokal. Berdasarkan referensi yang ada dapat diketahui bahwa tindakan yang dilakukan oleh VOC dan pemerintah Hindia Belanda tidak lain merupakan kelanjutan dari tradisi yang telah ada sebelumnya .di dalam masyarakat setempat, atau yang dilakukan oleh para penguasa tradisional terhadap warganya sendiri. Hal itu dapat dilihat dengan jelas dalam kasus Perang Diponegoro. Disamping sebab-sebab lain yang juga berhubungan dengan kekuasaan kolonial, dukungan besar yang diberikan oleh masyarakat terhadap Pangeran Diponegoro berkaitan erat dengan pemiskinan yang harus ditanggung rakyat karena tidak adanya empati penguasa tradisional terhadap nasib rakyat sehubungan dengan kebijakan pemerintah kolonial tentang penyewaan tanah apanage dan pajak.
Keterjebakan historiografi Indonesiasentris dalam determinisme kolonial ini juga terlihat dalam pemahaman tentang perlawanan para Paderi di Sumatera Barat pada paruh pertama abad XIX, dan konflik antara ulama dan ulebalang di Aceh. Historiografi
Cara berpikir yang serupa dapat juga digunakan untuk menjelaskan sejarah Aceh. Penelitian yang dilakukan oleh M. Gade Ismail di Aceh Timur menunjukkan dengan jelas adanya persaingan terus menerus antara ulama dan ulebalang dalam produksi dan perdagangan lada, jauh diluar persoalan intervensi kekuasaan kolonial. Oleh sebab itu, persitiwa perang Aceh tidak dapat dipisahkan begitu saja dari kelanjutan proses dinamika internal masyarakat Aceh sendiri, biarpun penjelasan historis selama ini menempatkan secara dikotomis antara ulebalang yang memihak Belanda atau bagian dari birokrasi kolonial dan ulama yang nasionalis atau anti birokrasi moderen. Beberapa bukti akhir-akhir ini menunjukkan bahwa ulama sebagai kelas sosial tidak begitu saja terbebas dari birokrasi kolonial, ketika pendidikan Barat mulai diperkenalkan di daerah ini. Biarpun lebih banyak mereka yang berlatar belakang sosial ulebalang yang pergi ke sekolah-sekolah Barat, pembukaan sekolah-sekolah model Barat oleh organisasi nasionalis dan Islam serta rasionalisasi sistem birokrasi kolonial membuka kesempatan terjadinya perubahan struktural dalam pekerjaan dan rekrutmen. Sebagai kelompok sosial tersendiri, ulama mulai bersaing dalam ruang yang secara tradisional merupakan hak
Namun menurut Kuntowijoyo, prinsip autonomous history yang diungkapkan oleh John Smail, yang menjadi dasar untuk menjelaskan dua kasus di atas, tidak dapat digunakan untuk semua persitiwa yang terjadi pada masa kolonial, karena hal itu akan mereduksi realitas sejarah dari peristiwa seperti Sistem Tanam Paksa, kebijakan liberal, dan politik etis. Pernyataan itu tentu saja tidak seluruhnya salah Akan tetapi satu hal yang perlu dicatat bahwa sebagai sebuah proses sejarah, masa lalu yang berkaitan dengan pelaksanaan Sistem Tanam Paksa misalnya tidak dapat digeneralisasi sebagai satu peristiwa linier yang hanya melibatkan kolonial sebagai kekuasaan politik semata, seperti yang telah digambarkan dengan baik oleh Robert Elson. Dalam kenyataannya, eksploitasi bukan satu-satunya fenomena yang ada dalam sejarah pada masa dijalankannya Sistem Tanam Paksa. Hal itu berarti, konsep indegenous dynamic harus dipahami secara luas, yaitu mencakup seluruh masyarakat yang terlibat pada masa itu tanpa perlu membedakannya secara etnik. Oleh sebab itu, dari masa Sistem Tanam Paksa dapat ditemukan realitas historis yang lebih beragam, seperti tentang adanya keterlibatan modal swasta dalam pelaksanaan sistem itu, nepotisme dan korupsi yang dilakukan oleh para birokrat Hindia Belanda, keuntungan ekonomis besar yang dinikmati para broker bumiputera termasuk para elite lokal seperti bupati dan lurah sehingga mereka menjadi kaya raya, kemampuan penduduk pedesaan merespon secara positif kesempatan ekonomi baru, strategi penduduk menciptakan peluang-peluang social dan ekonomi untuk sekedar bertahan dari tekanan kemiskinan, disamping tentu saja eksploitasi seperti yang telah banyak dibicarakan selama ini.
Persoalan lain yang juga perlu diperhatikan, ketika sebuah reinterpretasi yang berbeda terhadap realitas masa lalu dilakukan, historiografi
Historiografi
Sebagian besar sejarawan
Perempuan baik sebagai objek maupun wacana sejarah merupakan salah satu unsur yang juga hilang dalam historiografi
Oleh karena itu tidak mengherankan, walaupun dalam kenyataan sejarah para perempuan memiliki fungsi yang penting dalam proses perkembangan agama-agama di Indonesia, dalam kenyataan historiografis sangat sulit untuk menemukan rekonstruksi tentang para bikuni dalam tradisi Buddha, biarawati dalam tradisi Kristen, atau para Nyai di pesantren Islam sebagai realitas sejarah. Jikapun ada yang menghadirkan perempuan dalam proses sejarah, maka keberadaan mereka hanya dikaitkan pada beberapa aspek tertentu yang cenderung berkonotasi negatif, seperti pelacuran atau penyakit kelamin. Selain memang adanya realitas sosial bahwa perempuan memiliki posisi yang marginal di dalam masyarakatnya pada masa lalu, telah terjadi juga marginalisasi terhadap kenyataan historis tentang perempuan dalam historiografi
Hilangnya wacana perempuan dalam sejarah Indonesia pascakolonial terlihat dengan jelas pada struktur dan pemaparan isi, baik pada tujuh jilid buku Sejarah Nasional Indonesia yang diterbitkan pemerintah maupun dua jilid buku Pengantar Sejarah Indonesia Baru yang ditulis oleh Sartono Kartodirdjo. Baik pada buku pertama maupun pada buku yang kedua, sejak awal sampai akhir dipaparkan berbagai aspek-aspek sejarah. Namun dua-duanya baik secara sadar maupun tidak telah mengabaikan realitas historis perempuan sebagai bagian dari proses sejarah
Tidak adanya perempuan dalam sejarah
Di dalam konteks yang lain, ketidakhadiran perempuan itu dapat dilihat dalam pemahaman tentang konsep priyayi Jawa. Beberapa simbol seperti burung, keris, kuda, dan wanita yang melambangkan peradaban priyayi secara jelas menunjukkan bahwa dunia priyayi adalah dunia laki-laki. Padahal dan novel Canting Arswendo Atmowiloto yang merupakan representasi dari sebuah realitas sosial di
Sementara itu, realitas objektif sejarah
Ketidakhadiran perempuan dalam historiografi Indonesia pascakolonial ini menjadi semakin lengkap, ketika Darsiti Soeratman yang merupakan salah satu sejarawan perempuan terkemuka Indonesia menulis tentang Kehidupan Dunia Keraton Surakarta antara tahun 1830 dan 1939 hanya memaparkan tentang kehidupan perempuan pada saat mendeskripsikan kehidupan sehari-hari di dalam keputren. Selebihnya, narasi yang dibangun tetap berdimensi laki-laki, padahal di dalam buku itu juga digambarkan bagaimana perubahan gaya hidup di dalam keraton sebagai akibat dari masuknya pengaruh Barat, yang sudah pasti melibatkan para perempuan yang menjadi bagian dari proses sejarah Keraton Surakarta selama kurang lebih seratus tahun. Seperti juga Darsiti, sejarawan perempuan lain Djuliati Suroyo juga tidak banyak memperhatikan persoalan ketimpangan gender pada tingkat wacana ketika membahas tentang tenaga kerja pada masa Tanam Paksa di Kedu. Padahal dari data yang disajikan secara luas oleh Robert Elson, salah satu interpretasi penting yang dapat dilakukan adalah adanya perubahan penting dalam konteks tenaga kerja perempuan sejak diberlakukannya Cultuurstelsel. Nina Lubis yang menulis tentang priyayi dan bangsawan Sunda, mungkin bisa dianggap sedikit berbeda jika dibandingkan dua sejarawan perempuan yang telah disebutkan sebelumnya dalam menghadirkan citra perempuan dalam sejarah. Biarpun masih ada kesan yang sangat kuat bahwa dunia menak yang dia gambarkan dalam tulisannya merupakan dunia laki-laki, Nina jauh lebih mampu menghadirkan citra perempuan dalam tulisannya. Selain itu, pengakuan bahwa ide tentang modernisasi telah menjadi cara berpikir yang biasa pada para perempuan
Di samping hilangnya perempuan, historiografi
Peniadaan anak-anak dan remaja dalam proses sejarah ini dapat dilihat lebih jauh dalam pembahasan tentang Pendidikan, karena hampir seluruh kajian tentang sejarah pendi- dikan di
Selain itu, identifikasi sosial-kultural dan historiografi
Konstruksi sejarah yang dibangun juga cenderung mengabaikan sisa-sisa komunitas Hindu-Buddha. Padahal segera setelah agama menjadi salah satu identitas sosial yang penting sejak kemerdekaan, kenyataan yang ada menunjukkan bahwa komunitas Hindu-Buddha belum punah dan terus bertahan. Hal itu berbeda dengan penulisan sejarah selama ini yang memberi kesan seolah-olah keberadaan komunitas Hindu-Buddha telah berakhir ketika Islam berkembang, kecuali unsur-unsurnya yang melebur ke dalam masyarakat baru melalui proses alkulturasi, asimilasi dan sebagainya. Oleh karena itu tidak mengherankan jika masyarakat di Sumatera Barat yang sangat bangga dengan identitas keislaman mereka pada saat ini sebagai contoh, sangat sulit menerima keberadaan Adityawarman sebagai bagian dari sejarah Minangkabau, terlepas dari paparan Audrey Kahin yang lebih mengkaitkan persoalan yang ada dengan hubungan antara Adityawarman dan Jawa. Kegagalan M. Yamin sebagai menteri pendidikan dan sekaligus seorang yang berasal dari Sumatera Barat memberi nama Adityawaman pada peguruan tinggi yang sekarang dikenal sebagai Universitas Andalas pada tahun 1950-an, penolakan gubernur Sumatera Barat terhadap nama Adityawarman bagi museum yang baru didirikan pada tahun 1970-an, dan persoalan sekitar sistem matrilineal tidak bisa dipisahkan dari dominasi Islam dalam wacana historiografis masyarakat Minangkabau serta kecenderungan pengingkaran terhadap adanya unsur Hindu-Buddha dalam realitas sosiohistoris masyarakat di wilayah itu.
Cara berpikir di atas juga menimbulkan marginalisasi terhadap unsur Cina dalam proses sejarah
Mencari Format Baru Historiografis
Berdasarkan paparan di atas, ditemukan beberapa paradok ketika mencoba mencari akar kesadaran dekonstruktif dalam historiografi
Keberadaan historiografi
Oleh karena itu tidak mengherankan, jika konstruksi dan narasi historis tentang kehidupan sehari-hari dalam sejarah Indonesia tidak datang dari sejarawan Indonesia melainkan sebagian besar ditulis oleh sejarawan asing, seperti yang dila- kukan oleh John Ingleson dan William Frederick terhadap buruh pelabuhan, prostitusi serta kehidupan sehari-hari di kampung pada masa depresi tahun 1930-an, atau Ann Stoler yang menulis tentang para house maids pada masa kolonial. Cara berpikir yang sama pula yang telah membatasi sejarawan
Biarpun di dalam ilmu sejarah dikenal generalisasi sejarah, pemahaman terhadap peristiwa sejarah tidak didasarkan dan bertujuan menggeneralisasi seluruh fakta sejarah. Oleh sebab itu, misalnya, perkembangan kolonialisme Belanda di Indonesia tidak dapat hanya dipahami secara umum dalam konteks politik devide et impera atau eksploitasi. Sebagai sebuah proses sejarah, kolonialisme Belanda merupakan produk dari interaksi berbagai faktor internal dan eksternal yang akhimya membentuk sebuah struktur tertentu. Selain itu sebagai sebuah proses sejarah, Islam di Indonesia tidak hanya berkaitan dengan unsur teologis melainkan juga berkaitan dengan unsur sosial, kultural, politik atau ekonomi. Tidak semua hal yang berhubungan dengan Islam di masa lalu dapat dikembalikan pada persoalan teologis. Misalnya, biarpun Islam melarang orang melakukan praktek riba, terdapat banyak bukti sejarah yang menunjukkan bahwa para haji atau komunitas Arab yang selalu dikaitkan dengan Islam ternyata melakukan praktek peminjaman uang dengan bunga yang tinggi, seperti yang banyak terjadi di sepanjang pantai utara Jawa. Sejarah seba- gai peristiwa masa lalu adalah kenyataan dan objektif, tetapi rekonstruksi tentang masa lalu sampai kapanpun tidak akan terbebas dari nilai subjektif, tergantung pada kemampuan mensejarahkan wacana dan pengalaman yang menjadi dasar sebuah naratif.
Berdasarkan pengalaman perkembangan historiografi
Harus disadari bahwa biarpun metode dan metodologi sejarah modern mendapat dasar yang sangat kuat dari Leopold von Ranke, namun tidak semua prinsip dasarnya yang menekankan pada masa lalu berbicara sendiri tentang dirinya dengan mengumpulkan informasi sebanyak mungkin, dalam arti sekedar rekonstruksi faktual, dijalankan selama ini oleh para sejarawan, termasuk mereka yang menentang wacana dekonstruktif. Pengggunaan konsep dan teori-teori ilmu sosial—yang beberapa di antaranya hanya hasil generalisasi dan tidak historis—dalam analisis dan sistesis sejarah, sebenarnya juga merupakan sebuah bentuk dari penisbian terhadap fakta. Banyak eksplanasi yang dilakukan untuk merangkai fakta-fakta masa lalu menjadi sebuah deskripsi historis harus diakui hanya merupakan spekulasi konseptual dan teoretik, yang sebagian darinya bahkan tidak memiliki basis sama sekali pada realitas sejarah sebagai peristiwa objektif.
Oleh sebab itu, sudah saatnya para sejarawan
Mengutip Sartono Kartodirdjo, sejarah nasional adalah simbol dari identitas nasional yang secara logis akan sangat mudah terjerumus pada egosentrisme dan kecenderungan yang memihak. Hal itu telah terbukti pada sebagian besar tulisan sejarah yang dilabelkan dengan pendekatan Indonesiasentris selama ini. Namun hal itu bukan berarti bahwa historiografi yang didasarkan pada Indonesiasentris tidak mampu menghasilkan karya sejarah
Buton 3
Buton 2
Molukken 2
Molukken
Wael Historian
Buton Island
Daftar Blog Saya
Total Tayangan Halaman
Agung
Pengikut
About Me
- WAEL HISTORIAN
- Seorang anak maritim yang dilahirkan di Dusun Terpencil di Pulau Seram Propinsi Maluku.
Arsip Blog
About
Iklan
Blogger templates
Postingan Populer
-
Mareku: Kilas Balik Dalam Pemerintahan Sangaji Jiko Malofo. Kelurahan Mareku yang kita kenal hari ini adalah bera...
-
Dalam disiplin sejarah tidak hanya mempelajari masalah metode dan metodologi saja. berbagai macam teori pun dibahas dan dipelajari dengan ...
-
Ketika perbincangan tentang sastra dan sejarah memasuki dunia wacana dekonstruktif di samping konstruktif dan rekonstruktif. Sebagai sebua...
-
Paper yang terakhir ini akan mengupas bagaimana teori dialektis, deterministic, positivis dan post kolonialis. Teori pertama yang dibahas ...
-
BAB III PRINSIP VISUAL Knowledge Objective 1. Menjelaskan peran yang dimainkan dalam instruksi visual 2. Definisikan arti visual literacy me...
-
Bagi sebagian sejarawan Indonesia , dekonstruksi adalah sebuah kata yang seolah-olah seperti penyakit menjijikkan dan sekaligus mematikan ...
-
Teori-teori yang berkembang ternyata tidak selamanya diteria, bahkan kadang-kadang ada sangkal-menyangkal antara teori yang satu dengan te...
-
Yinda-Yindamo arata somana karo, Yinda-Yindamo karo sumana lipu, Yinda-Yindamo lipu somana sara, Yinda-Yindamo sara somana Agama. Korbanka...
-
Tidore merupakan salah satu pulau yang terdapat di gugusan kepulauan Maluku. Sebelum Islam datang ke bumi nusantara, Tidore dikenal dengan...
Entri Populer
-
Dalam disiplin sejarah tidak hanya mempelajari masalah metode dan metodologi saja. berbagai macam teori pun dibahas dan dipelajari dengan ...
-
Teori-teori yang berkembang ternyata tidak selamanya diteria, bahkan kadang-kadang ada sangkal-menyangkal antara teori yang satu dengan te...
-
Teori Spekulatif Filsafat sejarah spekulatif mencari struktur dalam yang terkandung dalam proses sejarah dalam keseluruhannya. F...
-
Paper yang terakhir ini akan mengupas bagaimana teori dialektis, deterministic, positivis dan post kolonialis. Teori pertama yang dibahas ...
-
Mareku: Kilas Balik Dalam Pemerintahan Sangaji Jiko Malofo. Kelurahan Mareku yang kita kenal hari ini adalah bera...
-
Oleh: La Raman A. Latar Belakang Masalah Benang-merah yang menautkan dan melandasi hampir semua amuk sosial di tanah-air kita belakang...
-
Yinda-Yindamo arata somana karo, Yinda-Yindamo karo sumana lipu, Yinda-Yindamo lipu somana sara, Yinda-Yindamo sara somana Agama. Korbanka...
-
oleh Claessen Marcel * * Catatan: Artikel ini adalah terjemahan lengkap dari bab pertama dalam tesis PhD saya: MS Claessen, Enkele beschouwi...
-
Tidore merupakan salah satu pulau yang terdapat di gugusan kepulauan Maluku. Sebelum Islam datang ke bumi nusantara, Tidore dikenal dengan...
-
Sejarah Pembentukan Kedaton Kie Sejarah pendirian kedaton Kie di Soasio tidak dapat di lepas pisahkan daripada pusat aktifitas Kes...
Entri Populer
-
Dalam disiplin sejarah tidak hanya mempelajari masalah metode dan metodologi saja. berbagai macam teori pun dibahas dan dipelajari dengan ...
-
Teori-teori yang berkembang ternyata tidak selamanya diteria, bahkan kadang-kadang ada sangkal-menyangkal antara teori yang satu dengan te...
-
Teori Spekulatif Filsafat sejarah spekulatif mencari struktur dalam yang terkandung dalam proses sejarah dalam keseluruhannya. F...
-
Paper yang terakhir ini akan mengupas bagaimana teori dialektis, deterministic, positivis dan post kolonialis. Teori pertama yang dibahas ...
-
Mareku: Kilas Balik Dalam Pemerintahan Sangaji Jiko Malofo. Kelurahan Mareku yang kita kenal hari ini adalah bera...
-
Oleh: La Raman A. Latar Belakang Masalah Benang-merah yang menautkan dan melandasi hampir semua amuk sosial di tanah-air kita belakang...
-
Yinda-Yindamo arata somana karo, Yinda-Yindamo karo sumana lipu, Yinda-Yindamo lipu somana sara, Yinda-Yindamo sara somana Agama. Korbanka...
-
oleh Claessen Marcel * * Catatan: Artikel ini adalah terjemahan lengkap dari bab pertama dalam tesis PhD saya: MS Claessen, Enkele beschouwi...
-
Tidore merupakan salah satu pulau yang terdapat di gugusan kepulauan Maluku. Sebelum Islam datang ke bumi nusantara, Tidore dikenal dengan...
-
Sejarah Pembentukan Kedaton Kie Sejarah pendirian kedaton Kie di Soasio tidak dapat di lepas pisahkan daripada pusat aktifitas Kes...