Powered By Blogger
Selasa, 30 November 2010

SUATU EPISODE SEJARAH MAJAPAHIT-DEMAK


SUATU EPISODE SEJARAH MAJAPAHIT-DEMAK

Sumber : TBG, jilid 24, tahun 1877

F.S.A. de Clercq

Di wilayah luar Jawa jarang ditemukan keterangan yang bisa dinyatakan sebagai sumbangan bagi sejarah pulau itu, terutama dengan alasan banyak suku-suku yang tinggal di sana pada zaman dahulu tidak mengenal tulisan, dan kisah-kisah baru kemudian dicatat. Hal ini terjadi dengan naskah Melayu yang memuat sejarah raja-raja Banjarmasin dan Kotaringin, yang kisahnya merupakan gambaran tentang kondisi kerajaan Majapahit pada saat itu, sehingga di Banjar bantuan raja Jawa diminta. Sejauh ulasan ini memuat apa yang kita kenal dari sumber-sumber pribumi di Jawa, penerbitan ini menurut pendapat saya sangat berharga dan naskah Melayu selalu dilampiri dengan terjemahan yang beritanya dikutip oleh Lassen, Meinsma dan sebagainya. Apabila melalui berkas ini tidak bisa dijelaskan atau diungkapkan, namun perhatian perlu dicurahkan sebagai sesuatu yang khusus, apa yang dari tempat lain dikisahkan tentang salah satu kerajaan besar di Jawa sebagai kenangan rakyat.

KISAH PATIH MASIH KEPADA

PANGERAN SAMODERA TENTANG CARA

BAGAIMANA MAJAPAHIT, DAN SULTAN DEMAK

SEBAGAI RAJA PERTAMA DI JAWA

Menurut kisah masa lalu, di zaman dahulu raja Majapabit Tunggal Meteng (terutama dia adalah Angka Wijaya, meskipun nama patih juga menunjuk pada Brawijaya. Menurut Lassen, Marca Wijaya bisa menunjukkan apa yang tampaknya patut diragukan karena tentang kekuasaannya yang besar dengan jelas diungkapkan. Dia kemudian digantikan oleh cucunya, yang tidak terbukti; terutama karena AW dikenal sebagai sangat patuh, dan di bawah pemerintahannya kedudukannya ditempatkan di Ampel), dan patihnya adalah Gajah Mada. Semua bangsawan di Jawa tunduk kepadanya dan berbagai daerah seperti Banten, Jambi, Palembang, Bugis, Makasar, Johor, Patani, Pahang, Minangkabau, Aceh, Pasir mengakui kekuasaannya.

Setelah kematian patih itu, raja juga wafat dan digantikan oleh cucunya sebagai raja Majapahit. Patih Majapahit disebut Dipati Mahangurak dan patihnya adalah Mahurdara. Pada masa ini, Dipati Mahangurak memberikan perintah kepada warga Majapahit untuk melamar putri Pasir dengan tiga perahu dan seorang mantri yang kaya (dari kesepakatan dengan kerajaan Pasir di Borneo, penulis kronik ini berganti nama dengan Pasei yang diduga tidak dikenal olehnya di Pantai Utara Sumatra, daerah Melayu pertama yang menerima Islam. Kata melamar yang digunakan dalam naskah ini diambil alih dari bahasa Jawa).

Raja Pasir tidak menemukan jalan keluar karena sebagai seorang Islam dia tidak bisa memberikan putrinya dan toh tetap takut menolak lamaran itu, karena raja Majapahit sangat berkuasa dan banyak daerah yang tunduk kepadanya. Tetapi dia menyerahkan putrinya dengan alasan agar tidak membawa bencana bagi negara dan kawulanya. Tidak disebutkan berapa lama mereka mengarungi samodera, sampai mereka tiba di sana dan Gagak Batang menyerahkan putri Pasir kepada rajanya. Wanita ini menerima berbagai hadiah dan oleh raja Majapahit diangkat menjadi istrinya. Tetapi dia menerima sebuah rumah khusus, tidak berhubungan dengan para selir dan tidak makan makanan haram.

Setelah selama beberapa saat hidup bersama, putri Pasir itu hamil dan ketika waktunya tiba dia melahirkan seorang putra. Pada saat itu saudaranya Raja Bungsu tiba dan tinggal di Majapahit selama kira-kira setahun. Ketika kembali, dia dicegah oleh sang putri yang berkata:”Saudaraku, jangan pergi dahulu karena tidak ada dari kerabatku yang tinggal di sini”. tetapi Raja Bungsu mendesak untuk berangkat dan sampai dua atau tiga kali sang putri menahannya. Kini raja Majapahit berkata:”Tinggallah di sini selama beberapa tahun, karena saudarimu sangat merindukanmu, apabila dia sakit. Apabila engkau tinggal di sini, pilihlah tempat untuk membangun rumah dan aku akan memberikannya” (283)

Raja Bungsu tidak berangkat tetapi menyuruh para pengikutnya untuk kembali memberitahu ayahnya raja Pasir bahwa dia ditahan oleh putri dan raja Majapahit, dan dia serta putri akan mengirimkan berbagai hadiah. Mereka pergi yang menerima perintah itu dan tidak dilaporkan berapa lama perjalanan di laut. Beberapa orang tiba di Pasir, mengunjungi raja dan menyampaikan semuanya tentang Raja Bungsu, dan memberikan hadiah darinya serta dari putri. Raja terdiam dan tidak berkata apapun. Kini hanya disebutkan hubungan tentang raja Majapahit dan Raja Bungsu, yang diperkenankan untuk memilih di mana dia ingin tinggal. Raja Bungsu memilih sebuah tempat yang dahulu dihuni oleh manusia (sebuah pedusunan), yang disebut dukuh Ampil Kedang (tinggal di Ampil, menimbulkan dugaan bahwa dia adalah orang yang sama seperti ulama Arab Raden Rahmat, yang kemudian tinggal di Ampel di dekat Surabaya bersama 3 ribu keluarga) dan yang memerintahkan pembabatan hutan untuk mendirikan sebuah rumah.

Raja Majapahit memerintahkan kawulanya untuk membuka tanah di sana; dan ada pohon-pohon besar yang ditebang dan mereka menjadikannya sebagai tiang. Di tempat didirikannya sebuah rumah bagi Raja Bungsu dia tinggal bersama lima orang kawula dan abdinya. Sampai sekarang nama tempat itu adalah Ampil Kedang. Ketika Raja Bungsu tinggal di sana selama beberapa saat, desa-desa yang terletak di sekitarnya semuanya masuk Islam. Tetapi dia tidak berani dan merasa takut. Dia mengirimkan pengikutnya kepada sang putri dan berkata kepadanya:”(284) Kami dikirim oleh sesembahan kami Raja Bungsu, yang meminta Anda untuk berbicara dengan raja Majapahit tentang desa-desa sekitarnya, yang semuanya ingin memeluk Islam”. Di sini putri memberitahu suaminya apa yang dikatakan oleh saudaranya, raja menjawab:”Katakan kepada adikku bahwa siapapun yang akan memeluk agama Islam silahkan pergi. Aku tidak melarang – bukan hanya warga desa tetapi juga penduduk Majapahit bila mereka menghendakinya, jadilah umat Islam yang saleh”.

Setelah raja mengatakan demikian, utusan itu meminta ijin untuk kembali dan semua yang dibicarakan dilaporkan kepada Raja Bungsu, di mana setiap orang yang menghendaki bisa menjadi Islam dan berpegang teguh pada ajaran Nabi. Disampaikan kepada kawulanya bahwa Raja Bungsu tumbuh melebihi raja Majapahit. Kini ada seorang mantri yang bernama Si Api (mungkin pengacauan dari Siapik, seorang intelektual) yang bekerja sebagai petinggi dan berasal dari Jipang (menurut sumber Jawa, Jipang adalah tempat tinggal Sunan Kudus). Dia datang bersama empat atau lima orang warga untuk mempersembahkan kelapa, pisang, buah-buahan (ubi dan gembili), sirih, pinang, beras dan ayam kepada Raja Bungsu. Petinggi terkejut melihat Raja Bungsu, dia berlutut di depan kakinya dan memintanya agar mereka bisa masuk Islam. Raja Bungsu bersedia melakukannya dan mengajari mereka tentang kewajiban agamanya. Petingi setelah itu meminta ijin kepadanya untuk pulang dan setibanya di rumah, dia berkata kepada istri, anak-anak dan anggota keluarganya:”Hai kerabatku semua, jika engkau ingin sama seperti aku, jadilah Muslim, karena aku telah menerimanya”. Semuanya menganggap baik dan menghadap kepada Raja Bungsu dengan permohonannya (285), dan mereka juga menerima ajaran itu.

Kemudian petinggi Jipang mempersembahkan putrinya kepada Raja Bungsu dan berkata:”Saya memberikan putriku kepada Anda agar Anda perlakukan sesukanya; saya akan sangat berkenan karena saya bisa beruntung apabila Anda menunjukkan kehormatan ini kepadaku”. Raja Bungsu menjawab:”Kuterima persembahanmu”. Setelah itu, putri petinggi Jipang itu diambil istri oleh Raja Bungsu, dan bersama wanita tersebut dia hidup bersatu. Petinggi melaksanakan upacara itu dan diangkat menjadi penghulu. Dikisahkan bahwa ketika penghulu Jipang sudah dikenal, dia memisahkan diri dari Raja Bungsu dan pada hari Jumat bertempat di Ampel Kedang. Desa-desa yang terletak di dekatnya juga ikut masuk Islam.

Ketika raja Majapahit mendengar hal ini, dia tidak marah karena penyebabnya Raja Bungsu tidak menarik diri. Putra yang lahir dari perkawinan saudari Raja Bungsu dengan raja Majapahit, yang kemudian dinikahkan dengan seorang putri raja Bali, telah hamil tiga bulan. Putri penghulu Jipang yang menikah dengan raja Bungsu menerima dua anak: yang sulung adalah putra dan yang bungsu adalah putri, tetapi mereka masih kecil. Pertama-tama putri raja Bali mengandung dan ketika waktunya tiba dia melahirkan seorang putra. Setelah anak ini lahir, ibunya meninggal.

Anak itu juga membunuh orang yang menggendongnya. Karena alasan ini raja Bali berkata:”Apabila demikian, anak ini adalah mahluk gaib dan tidak perlu hidup karena akan membuat manusia menderita” (286) Raja menyuruh anak itu dilemparkan kelaut:”Jangan sampai ada di Bali karena bencana akan melanda negeri ini”. Setelah itu anak tersebut dilempar ke laut. Oleh pujangga dikisahkan bahwa seorang utusan Nyai Suta Pepatih di Gresik, yang bernama Juragan Balan yang segera ingin kembali ke laut selat Blambangan, melihat sesuatu yang bersinar (ini merupakan gambaran yang berubah tentang apa yang dicatat secara singkat oleh Lassen dan lebih panjang dimuat dalam TNI jilid 1 bagian II halaman 277. Pada bagian terakhir, putri yang menerima anak itu disebut Nyai Ageng Pinate, di mana dengan mudah bisa diduga Pepatih, terutama karena kata ini juga ditulis pengatih).

Ketika didekati dia melihat sebuah peti mati. Dia berusaha menariknya dengan sebuah galah, dan setelah tutup peti itu dibuka dia melihat seorang anak kecil. Juragan itu berkata:”Dia tampak menatap tajam, membuat kita takut dan bawalah serta anak ini, karena Nyai Tumenggung tidak memiliki anak, dan menurut pendapat saya jelas anak ini akan senang. Orangtuanya tidak diketahui. Saya menduga bahwa orangtuanya adalah keturunan bangsawan, karena penampilannya berbeda dengan anak-anak lain”. Warganya menjawab:”Kami takut kembali karena bisa membuat Nyai Tumenggung marah”.

Juragan itu meneruskan:”Apabila Nyai Tumenggung menunjukkan kemarahan, maka saya akan bertanggungjawab: apabila dia marah, dia bisa menjualku bersama istri dan anak-anakku. Aku berani membawa sebuah perahu pergi ke arah lain dan menghindari kemarahannya”. Awak kapal itu berkata:”Apabila memang demikian perkataanmu, maka kami mengikutimu tetapi bagaimana dengan angin karena kami tidak bisa kembali dengan angin barat?” (287). Angin barat kini berhenti dan angin timur berhembus, dan perahu itu berlayar kembali. Kemudian angin berhembus dari selatan, dan awak kapal merasa takut dan berkata:”Dalam hal ini anak itu membawa berkah bagi kita”. Ketika itu mereka tiba di Gresik. Juragan mengambil peti itu dan bersama anak tersebut membawanya ke darat, Nyai Suta berkata dan seperti yang disampaikan kepada para awak kapal, dia juga berbicara sekarang:”Saya hanya berani menanggung sendiri kemarahanmu, apabila engkau memerintahkan agar aku dihukum bersama istri dan anak-anak, maka aku tidak akan melawan karena aku berani mengambil anak ini, tetapi engkau lebih mencintai seorang anak; tentang orangtuanya tidak ada kepastian; saya tidak takut pada kemarahanmu”.

Nyai Suta Pepatih menjawab:”Bersyukurlah engkau telah mengambilnya, seolah-olah engkau membawa sepuluh potong kain. Jangan sampai rusak. Semua yang menjadi hartaku berada dalam perahu, bagikan kepada rakyat sebagai hadiah dariku, dan bawalah perahu itu”. Juragan dan awak kapal merasa sangat bangga. Anak itu kini dipelihara oleh Nyi Suta, dan dia juga menyusuinya. Tetapi anak ini tidak bersedia menyusu dan dimasukki makanan dalam mulutnya dan diberi minum dengan santan. Nyai Suta Pepatih memelihara anak ini dengan sangat hormat, dan sejak saat itu harta kekayaan mereka semakin bertambah ketika anak itu terawatt dengan baik.

Mahudara meninggal dan begitu juga raja Majapahit. Putri Pasir yang menjadi istri raja Majapahit tinggal pada suaminya. Ketika raja ini wafat, dia tinggal di Ampil Kedang, berubah agama dan memeluk Islam bersama saudaranya Raja Bungsu. (288) Di kerajaan Majapahit terjadi pemberontakan dan semua penduduk menyebar ke segala penjuru, beberapa ke Bali, yang lain ke Tuban, Madura dan Sedayu. Mereka tinggal di berbagai tempat masing-masing. Pertama-tama di Jawa sejumlah desa dekat Ampil Kedang masuk Islam, setelah itu penghulu Jipang, kemudian Demak, Gresik, Surabaya, Kudus dan akhirnya daerah lainnya di Jawa.

Setelah Majapahit, kerajaan terbesar adalah Demak di bawah seorang Sultan, yang bernama Sri Alam, raja yang mendirikan Kuta Ramaya. Penulis sejarah mengisahkan bahwa putra Raja Bungsu disebut Wali Allah, juga disebut Pangeran Bomang. Putri Raja Bungsu diambil sebagai istri Sunan Kudus, dan setelah itu menerima pelajaran dari Raja Bungsu, sehingga Sunan Kudus juga disebut Wali Allah atau Pangeran Mahadam. Anak yang ditemukan di laut dekat selat Blambangan juga menjadi Wali Allah dan disebut Pangeran Giri (hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan Lassen). Banyak yang tidak dicatat, tetapi dikisahkan oleh tukang cerita.

Selasa, 29 Juni 2010

KESADARAN DEKONSTRUKTIF DAN HISTORIOGRAFI INDONESIASENTRIS Oleh La Raman

Ketika perbincangan tentang sastra dan sejarah memasuki dunia wacana dekonstruktif di samping konstruktif dan rekonstruktif. Sebagai sebuah realitas yang dibayangkan, sejarah dan sastra sering dianggap berada dalam tataran yang sama. Pada tataran praktis antara fakta dan fiksi tidak ada perbedaan yang berarti secara tekstual, sehingga sastra dan sejarah dapat diasosiasikan bergulat di dalam satu bidang yang sama, yaitu bahasa.

Berdasarkan cara berpikir di atas, sejarah sebagai kenyataan hanya merupakan sesuatu yang terjadi satu kali di masa lalu dan tidak berulang, sedangkan sejarah sebagai sebuah rekonstruksi tertulis dan lisan yang kita kenal saat ini adalah produk dari bahasa, wacana, dan pengalaman sesuai dengan konteksnya. Pada tingkat teoretik dalam pengertian teori sejarah kon­septual, adanya perbedaan itu sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru dalam ilmu sejarah. Para pendukung positivisme atau empirisisme dan idealisme atau relativistisme telah ber­silang pendapat sejak lama baik tentang arti, pemahaman, eksplanasi, objektivitas-subjektivitas maupun faktor-faktor determinan dalam sejarah, dan hal serupa terjadi ketika tradisi hermeneutika, historisisme baru, post-modernisme, dan post­kolonial menolak kepastian masa lalu yang ditawarkan oleh para pendukung modernisme.

Dalam perkembangan ilmu sejarah, pembahasan tentang persoalan fakta dan fiksi ini sebenarnya bukan sesuatu yang sederhana. Eric Hobsbawm yang sering dianggap berseberangan dengan para pendukung post-modernisme berpendapat, idiologisasi dan mitologisasi sejarah yang menjadi dasar dari subjektivitas sejarah dibangun tidak didasarkan pada kebohongan atau fiksi melainkan karena anakronisme, walaupun sebagian besar sejarawan masih tetap berpendapat bahwa hal itu lebih banyak disebabkan oleh kekeliruan atau kesengajaan. Hal itu terjadi karena intetpretasi terhadap fakta sejarah dalam proses rekonstruksi dilakukan tidak sesuai dengan kenyataan struktural dan kultural yang melingkupinya pada waktu sebuah peristiwa terjadi.

Cara berpikir yang hampir serupa nampaknya yang mendorong Georg G. Iggers akhirnya berpendapat bahwa pendekatan linguistik dari post-struktural atau pendekatan sosial-kultural dari historisisme baru lebih cocok bagi kritik sastra daripada penulisan sejarah.

Alun Munslow beranggapan bahwa sejarah tidak akan ada bagi para pembaca sampai sejarawan menulisnya sebagai sebuah naratif. Realitas masa lalu dalam pengertian ini adalah sesuatu yang ditulis tentang masa lalu itu, bukan hanya sekedar masa lalu sebagaimana yang terjadi. Oleh sebab itu bagi Munslow, sejarah tidak hanya sekedar pengkajian tentang perubahan dalam konteks waktu melainkan sejarah merupakan pengkajian tentang informasi atau pengetahuan yang dihasilkan oleh sejarawan.

Terlepas dari perbedaan di atas yang menyangka tuntutan terhadap kebenaran empirik dan komitmen terhadap intersubjektivitas pada rekonstruksi masa lalu, pada tingkat metodologis, historisisme baru telah mendorong munculnya kesadaran dekonstruktif bahwa kehidupan sehari-hari juga merupakan bagian yang integral dari proses sejarah. Pengkajian sejarah mulai bergerak dari sejarah makro yang didasarkan pada tradisi pendekatan ilmu-ilmu sosial menjadi sejarah mikro yang didasarkan pada pengalaman kehidupan sehari-hari orang kebanyakan.

Akan tetapi bagi Georg G. Iggers dan beberapa penulis lain yang bersikap kritis terhadap tradisi sejarah mikro ini, walaupun tetap mendukung ide-ide dasarnya, para pendukung teori sejarah post-modemisme dianggap tetap saja menggunakan prinsip-prinsip ilmu-ilmu sosial ketika mencoba memulihkan subjektivitas dan individualitas dari persoalan yang dihadapi.

Pada tataran seperti yang telah disebutkan di atas, pernyataan Eric Hobsbawm tentang "perlu dilakukannya pembedaan antara apa yang ada dengan apa yang tidak ada untuk menentukan ada tidaknya sejarah nampaknya akan menjembatani persoalan fakta dan fiksi dalam rekonstruksi masa lalu.

Tahun 1957 merupakan tonggak penting dalam perkembangan historiografi Indonesia, ketika disusun sebuah rumusan baru tentang landasan filosofis penulisan sejarah Indonesia. Penyusunan konsep dasar yang dikenal sebagai Indonesiasentris itu merupakan reaksi terhadap tradisi historiografi kolonial, Belanda atau Eropa yang mengecilkan arti masyarakat Indonesia dalam proses sejarahnya sendiri.

Sejak awal perkembangannya, historiografi Indonesiasentris ternyata cenderung menjauh dari sejarah objektif karena berkembangnya prinsip dekolonisasi historiografis yang bersifat ultra nasionalis dan lebih mementingkan retorika. Hal itu terutama tercermin di dalam karya generasi-generasi awal sejarawan Indonesia pascakolonial, seperti Sanusi Pane, M. Yamin, dan Soekanto. Namun satu hal yang perlu dicatat bahwa dekolonisasi historiografi itu dalam kenyata­annya lebih mementingkan ideologisasi terhadap masa lalu daripada merekonstruksi kebenaran sejarah.

Sartono Kartodirdjo, bapak sejarah kritis UGM dan salah satu sejarawan Indonesia terkemuka di abad ke-20, sebenarnya mulai mengalihkan sejarah Indonesia dari kajian yang hanya membahas tentang penguasa kolonial atau kerajaan menjadi pembahasan tentang masyarakat keba­nyakan, melalui studinya tentang pemberontakan petani Banten. Menurut sejarawan UGM yang lain, Kuntowijoyo, historiografi dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial itu hanya hidup di menara gading, sehingga kebenaran ilmiah dari rekonstruksi sejarah hanya ada di kalangan kelompok ter­tentu, yaitu para sejarawan di perguruan-perguruan tinggi. Masih adanya dominasi kolonial dalam historiografi In­donesia pascakolonial bahkan dapat dilihat lebih jauh dalam kajian-kajian Sartono Kartodirdjo. Pendekatan yang sama nampaknya terus digunakan Sartono ketika ia membahas berbagai pergerakan sosial lain di pedesaan Jawa, yang mengesampingkan dinamika inter­nal di dalam masyarakat itu sendiri. Keterjebakan historiografi Indonesiasentris dalam determinisme kolonial ini juga terlihat dalam pemahaman tentang perlawanan para Paderi di Sumatera Barat pada paruh pertama abad XIX,

Cara berpikir yang serupa dapat juga digunakan untuk menjelaskan sejarah Aceh. Penelitian yang dilakukan oleh M. Gade Ismail di Aceh Timur menunjukkan dengan jelas adanya persaingan terus menerus antara ulama dan ulebalang dalam produksi dan perdagangan lada, jauh diluar persoalan intervensi kekuasaan kolonial. Oleh sebab itu, persitiwa perang Aceh tidak dapat dipisahkan begitu saja dari kelan­jutan proses dinamika internal masyarakat Aceh sendiri, biar­pun penjelasan historis selama ini menempatkan secara dikoto­mis antara ulebalang yang memihak Belanda. Namun menurut Kuntowijoyo, prinsip autonomous history yang diungkapkan oleh John Ismail, yang menjadi dasar untuk menjelaskan dua kasus di atas, tidak dapat digunakan untuk semua persitiwa yang terjadi pada masa kolonial, karena hal itu akan mereduksi realitas sejarah.

Persoalan lain yang juga perlu diperhatikan, ketika sebu­ah reinterpretasi yang berbeda terhadap realitas masa lalu dilakukan, historiografi Indonesia pascakolonial ternyata tidak semakin mendekat dengan kenyataan sejarah objektif sebagai peristiwa, malah sebaliknya semakin terjebak dalam kerangka berpikir yang ultra nasionalistik. Historiografi Indonesia pascakolonial juga terlalu meni­tikberatkan pada penjelasan politik dan peran penting yang selalu dimainkan oleh orang besar dalam kejadian sejarah. Sebagian besar sejarawan Indonesia beralasan bahwa kelangkaan data adalah masalah utama dari tidak adanya rekonstruksi sejarah tentang masyarakat kebanyakan pada masa kolonial. Akan tetapi penelitian akhir-akhir ini menunjukkan bahwa pendapat itu tidak benar.

Perempuan baik sebagai objek maupun wacana sejarah merupakan salah satu unsur yang juga hilang dalam historiografi Indonesia pascakolonial. Berkembangnya pengaruh Hindu-Budha, meluasnya pengaruh Islam, perubahan ekonomi yang terjadi sejak paruh pertama abad XIX, atau pengadopsian nilai-nilai Barat ke dalam masyarakat seharusnya tidak hanya berpengaruh terhadap laki-laki melainkan juga kepada perempuan. Hilangnya wacana perempuan dalam sejarah Indonesia pascakolonial terlihat dengan jelas pada struktur dan pemaparan isi, baik pada tujuh jilid buku Sejarah Nasional Indone­sia yang diterbitkan pemerintah maupun dua jilid buku Pengantar Sejarah Indonesia Baru yang ditulis oleh Sartono Kartodirdjo. Tidak adanya perempuan dalam sejarah Indonesia dapat dilihat lebih jauh dalam kajian perkembangan sosial Kota Yogyakarta yang dilakukan oleh Abdurrachman Surjomihardjo. Hampir seluruh isi buku itu memaparkan aktivitas para laki-laki dan melihat kota sebagai dunia laki-laki, padahal Kota Yogyakarta merupakan tempat berlangsungnya Kongres Perempuan Pertama.

Di samping hilangnya perempuan, historiografi Indone­sia adalah rekonstruksi dunia orang dewasa yang melupakan keberadaan anak-anak dan remaja dalam sejarah. Keberadaan anak-anak dalam sejarah tidak pernah dianggap sebagai bagian dari proses sejarah. Peniadaan anak-anak dan remaja dalam proses sejarah ini dapat dilihat lebih jauh dalam pembahasan tentang Pendidikan, karena hampir seluruh kajian tentang sejarah pendidikan di Indonesia menyajikan pendidikan seolah-olah hanya bagi orang dewasa. Selain itu, identifikasi sosial-kultural dan historiografi Indonesia secara umum kadang-kadang juga terlalu dipusat­kan pada Islam dan cenderung melupakan unsur lainnya.

Cara berpikir di atas juga menimbulkan marginalisasi terhadap unsur Cina dalam proses sejarah Indonesia, karena Islam dan Cina diibaratkan seperti air dan minyak yang tidak mungkin bercampur.

Berdasarkan paparan di atas, ditemukan beberapa para­dok ketika mencoba mencari akar kesadaran dekonstruktif dalam historiografi Indonesia pascakolonial. Berbeda dengan pemahaman teoretik, historiografi Indonesia pascakolonial dalam banyak hal ternyata tidak mampu memunculkan sikap kritis terhadap pola berpikir historiografi yang lama.

KESADARAN DEKONSTRUKTIF DAN HISTORIOGRAFI INDONESIASENTRIS Oleh Raman

Bagi sebagian sejarawan Indonesia, dekonstruksi adalah sebuah kata yang seolah-olah seperti penyakit menjijikkan dan sekaligus mematikan yang harus dihindari. Hal itu berkaitan erat dengan anggapan bahwa secara konvensional ilmu sejarah hanya melakukan konstruksi dan rekonstruksi terhadap masa lalu secara absolut setelah menemukan interpretasi penuh dengan kebenaran dari dokumen-dokumen yang diteliti. Bagi mereka yang terlalu terbuai oleh pendapat bahwa keilmiahan sejarah hanya bisa dicapai melalui sejarah empirik, sejarah struktural, prinsip deskriptif analitis, dan penggunaan ilmu-ilmu sosial dalam metodologi sejarah.

Antara Fakta dan Fiksi

Ketika perbincangan tentang sastra dan sejarah memasuki dunia wacana dekonstruktif di samping konstruktif dan rekonstruktif. Sebagai sebuah realitas yang dibayangkan, sejarah dan sastra sering dianggap berada dalam tataran yang sama. Fiksi dan fakta tidak dapat begitu saja secara kaku diasosiasikan hanya dengan salah satu di antara keduanya, yaitu hanya berkaitan dengan sastra atau hanya dengan sejarah.

Pada tataran praktis antara fakta dan fiksi tidak ada perbedaan yang berarti secara tekstual, sehingga sastra dan sejarah dapat diasosiasikan bergulat di dalam satu bidang yang sama, yaitu bahasa. Hal ini sejalan dengan pendapat para pendukung post-strukturalisme melalui linguistic turnnya, yang menyatakan bahwa bahasa dalam bentuk budaya dan intelektual merupakan media pertukaran bagi hubungan antar kekuatan dan konstitutor terakhir dari kebenaran da- lam penulisan dan pemahaman tentang masa lalu. Sejarah sebagai sebuah pengetahuan sangat tergantung pada wacana dan bentuk representasi antar teks pada konteks sosial dan institusional yang lebih luas di dalam atau melalui bahasa, karena realitas objektif masa lalu telah berjarak dengan sejarah sebagai ilmu. Dalam konteks ini sejarah sebagai ilmu tidak dapat disebutkan sebagai representasi langsung dari objektivitas masa lalu, karena jarak itu telah mereduksi secara langsung kemampuan rekonstruktifnya.

Berdasarkan cara berpikir di atas, sejarah sebagai kenyataan hanya merupakan sesuatu yang terjadi satu kali di masa lalu dan tidak berulang, sedangkan sejarah sebagai sebuah rekonstruksi tertulis dan lisan yang kita kenal saat ini adalah produk dari bahasa, wacana, dan pengalaman sesuai dengan konteksnya. Hal itu berarti sebagai sebuah realitas, sejarah hanya ada di masa lalu dan tidak mungkin dapat dijangkau oleh sejarawan yang ada pada masa "kini". Rekonstruksi sejarah adalah produk subjektif dari sebuah proses pema- haman intelektual yang dilambangkan dalam simbol-simbol kebahasaan atau naratif dan dapat berubah dari waktu ke waktu, dari satu tempat ke tempat yang lain, atau dari satu orang ke orang yang lain. Sementara itu, pada saat yang sama sastra berhasil menampilkan citra dirinya sejajar sebagai sejarah, karena mampu menghadirkan situasi faktual dan masa lalu sebagai sebuah naratif melalui imajinasi kebaha­saannya. Hal itu berarti, kebenaran sejarah maupun sastra adalah kebenaran relatif. Demikian juga tidak ada kebenaran absolut yang dapat ditemukan, sehingga tidak selalu diper­lukan teori penjelasan yang dapat diverifikasi melalui pengu­jian empirik. Bagi para sejarawan konvensional yang sangat percaya pada adanya kebenaran sejarah mutlak, hal itu tentu saja akan menimbulkan masalah pada tataran epistimologi. Hal itu disebabkan karena pendapat ini sangat bertentangan dengan kelompok yang dikatagorikan Alun Munslow sebagai crude reconstrucsionist atau pendekatan unreflexive modernist, yang melakukan interpretasi secara naif dan percaya secara absolut pada empirisme serta kemampuan melakukan kajian terhadap sumber untuk menemukan kejadian sejarah.

Pada tingkat teoretik dalam pengertian teori sejarah kon­septual, adanya perbedaan itu sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru dalam ilmu sejarah. Para pendukung positivisme atau empirisisme dan idealisme atau relativistisme telah ber­silang pendapat sejak lama baik tentang arti, pemahaman, eksplanasi, objektivitas-subjektivitas maupun faktor-faktor determinan dalam sejarah, dan hal serupa terjadi ketika tradisi hermeneutika, historisisme baru, post-modernisme, dan post­kolonial menolak kepastian masa lalu yang ditawarkan oleh para pendukung modernisme. Dalam bahasa Stephen Greenblatt yang dianggap sebagai pioner historisisme baru, "historisisme lama dianggap bersifat monologis, hanya tertarik untuk menemukan visi politik tunggal, percaya bahwa sejarah bukan hasil interpretasi sejarawan, dan juga dianggap sebagai hasil kepentingan kelompok sosial tertentu dalam perten­tangannya dengan kelompok lain.

Para dekonstruksionis itu tidak hanya tidak percaya kepada tradisi atau kepastian sejarah melainkan juga kepada segala interpretasi yang tidak mendukung bahwa sejarah sebagai sesuatu yang berasal dari masa lalu yang bersifat relatif, karena is sekaligus merupakan sejarah masa kini. Kekinian itu bersama-sama dengan masa lalu merupakan representasi idiologis, sehingga selalu muncul pertanyaan tentang bagai­mana sebuah rekonstruksi sejarah bercerita tentang masa lalu itu sendiri. Bahkan pada tingkat tekstual, keberadaan teks sebagai informasi dasar atau data tentang masa lalu dianggap tidak selalu dapat mewakili sejarah dalam arti objektif. Masa lalu yang dipelajari itu dianggap sebagai produk interpretasi naratif dan eksplanasi dari manusia yang tidak terbebas dari personalitas yang kontradiktif dan ambivalen, yang juga membaca dan menginterpretasi sejarah sebagai teks dengan cara yang berbeda-beda. Oleh karena itu, kelompok sejarah dekonstruksionis ini menurut Alun Munslow berbeda dengan kelompok konstruksionis atau modernis akhir yang sangat membanggakan penggunaan prinsip sosial-scientific dan teori untuk menemukan arti dari masa lalu yang terdapat dalam sifat struktural dari perubahan sosial.

Dalam perkembangan ilmu sejarah, pembahasan tentang persoalan fakta dan fiksi ini sebenarnya bukan sesuatu yang sederhana. Eric Hobsbawm yang sering dianggap berseberangan dengan para pendukung post-modernisme berpendapat, "idiologisasi dan mitologisasi sejarah yang menjadi dasar dari subjektivitas sejarah dibangun tidak didasarkan pada kebohongan atau fiksi melainkan karena anakronisme, walaupun sebagian besar sejarawan masih te- tap berpendapat bahwa hal itu lebih banyak disebabkan oleh kekeliruan atau kesengajaan. Hal itu terjadi karena intetpretasi terhadap fakta sejarah dalam proses rekonstruksi dilakukan tidak sesuai dengan kenyataan struktural dan kultural yang melingkupinya pada waktu sebuah peristiwa terjadi. Menurut Hobsbawm, apa yang diteliti oleh sejara- wan adalah real, sehingga ia m.enolak pendapat yang menya- takan bahwa realitas objektif itu tidak dapat ditemukan. Ia lebih lanjut mengatakan, "terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara fakta dan fiksi serta antara pernyataan sejarah yang didasarkan bukti dan pernyataan literer yang tidak didasarkan bukti", ketika masa lalu direkonstruksi hanya di dalam pikiran, bukan sebagai realitas. Dalam kon- teks yang terakhir ini, beberapa pendapat R.G. Collingwood tentang entitas sejarah seolah-olah muncul kembali.

Cara berpikir yang hampir serupa nampaknya yang mendorong Georg G. Iggers akhirnya berpendapat bahwa pendekatan linguistik dari post-struktural atau pendekatan sosial-kultural dari historisisme barn lebih cocok bagi kritik sastra daripada penulisan sejarah, biarpun ia tetap menyadari tentang arti penting faktor kultural dalam merekonstruksi masa lalu seperti yang dikatakan oleh Joan W. Scott dan Lynn Hunt. Menyitir pendapat Carroll Smith-Rosenberg, Iggers lebih jauh mengatakan bahwa "para sejarawan akan lebih setuju terhadap pendapat yang menyatakan bahwa linguistik membedakan struktur masyarakat dan perbedaan sosial menstrukturkan bahasa sebagai salah satu fakta di dalam sejarah umat manusia, daripada pendapat yang menyatakan bahwa realitas sejarah tidak pernah ada, dan yang ada hanya bahasa yang berbentuk naratif sebagai representasi masa lalu.

Perdebatan di atas tentu saja menimbulkan pertanyaan tentang relevansi historisisme baru sebagai bagian dari kesadaran dekonstruktif bagi pengkajian sejarah. Bagi para seja­rawan seperti Lawrence Stone, historisisme barn tentu saja merupakan ancaman bagi tradisi pengkajian sejarah secara konvensional, karena mengesampingkan actual historical past dalam penulisan sejarah. Namun bagi Alun Munslow his­torisisme baru sama dengan sejarah dekonstruktif, karena merupakan tantangan bagi paradigma empirik. Berbeda dengan pemahaman konseptual yang didasarkan pada pemikiran awal Jacques Derrida atau Michel Foucault yang menjadi dasar bagi sebagian besar teori sejarah post-modern atau post kolonial, kesadaran dekonstruktif menurut Alun Munslow tetap didasarkan pada fakta biarpun ia beranggapan bahwa sejarah tidak akan ada bagi para pembaca sampai sejarawan menulisnya sebagai sebuah naratif. Realitas masa lalu dalam pengertian ini adalah sesuatu yang ditulis tentang masa lalu itu, bukan hanya sekedar masa lalu sebagaimana yang terjadi. Oleh sebab itu bagi Munslow, sejarah tidak hanya sekedar pengkajian tentang perubahan dalam konteks waktu melainkan sejarah merupakan pengkajian tentang informasi atau pengetahuan yang dihasilkan oleh sejarawan". Secara naratif, hanya sejarawan yang menghasilkan masa lalu, sedangkan masa lalu itu sendiri terkurung dalam dimensi waktu dan ruangnya tanpa dapat dijangkau secara fisik. Selain itu Jorn Rusen mengatakan bahwa kebenaran seja- rah sebagai sebuah naratif baru akan masuk akal jika didukung tidak hanya oleh validitas empiris melainkan juga validitas normatif. Dalam konteks rasionalitas metodologis sekalipun, berbicara tentang netralitas di dalam rekonstruksi sejarah adalah sesuatu yang sia-sia. Oleh karena itu seperti kebanyakan para relativistis di masa lalu, Rusen mengatakan bahwa neutrality is the end of history.

Terlepas dari perbedaan di atas yang menyangka tuntutan terhadap kebenaran empirik dan komitmen terhadap intersubjektivitas pada rekonstruksi masa lalu, pada tingkat metodologis, historisisme barn telah mendorong munculnya kesadaran dekonstruktif bahwa kehidupan sehari-hari juga merupakan bagian yang integral dari proses sejarah. Pengka- jian sejarah mulai bergerak dari sejarah makro yang didasarkan pada tradisi pendekatan ilmu-ilmu sosial menjadi sejarah mikro yang didasarkan pada pengalaman kehidupan sehari- hari orang kebanyakan. Jika sejarah yang didasarkan pada pendekatan ilmu-ilmu sosial menghalangi aspek kualitatif dari masa lalu, maka sejarah mikro menampilkan wajah manusiawi dari masa lalu. Menurut pendapat ini, sejarah struktural yang hanya terpaku pada pendekatan ilmu-ilmu sosial gagal merekonstruksi dan memahami aspek kemanusiaan dari fakta-fakta sejarah yang ada. Akibatnya, sejarah hanya dijelaskan sebagai realitas hubungan antara struktur yang rasional dan logis, sebaliknya mengesampingkan sejarah sebagai hasil dari tindakan atau perilaku manusia yang tidak selalu seragam, rasional, dan logis.

Akan tetapi bagi Georg G. Iggers dan beberapa penulis lain yang bersikap kritis terhadap tradisi sejarah mikro ini, walaupun tetap mendukung ide-ide dasarnya, para pendukung teori sejarah post-modemisme dianggap tetap saja menggunakan prinsip-prinsip ilmu-ilmu sosial ketika mencoba memulihkan subjektivitas dan individualitas dari persoalan yang dihadapi. Sejarah mikro dianggap "bukan sebagai altematif untuk menganalisa proses sosial dan politik yang berskala besar, namun hanya sebagai suplemen yang diperlukan. Para pengkritik tradisi sejarah mikro lebih lanjut mengatakan bahwa secara metodis sejarah mikro telah mereduksi sejarah menjadi antikuarianisme anekdotal, meromantisasi budaya masa lalu, tidak mampu menjelaskan dunia modern serta kontemporer yang ditandai oleh peruba­han yang cepat, dan dianggap tidak mampu menjelaskan persoalan politik. Sementara itu bagi para pendukung penulisan sejarah mikro, kritik itu dengan mudah dianggap berlebihan dan mengada-ada, karena realitas sejarah yang rinci akan lebih mudah didapat jika sejarah dilihat secara manusiawi.

Pada tataran seperti yang telah disebutkan di atas, pernyataan Eric Hobsbawm tentang "perlu dilakukannya pembedaan antara apa yang ada dengan apa yang tidak ada untuk menentukan ada tidaknya sejarah nampaknya akan menjembatani persoalan fakta dan fiksi dalam rekonstruksi masa lalu". Sejarah sebagai representasi kenyataan masa lalu tidak hanya ditentukan oleh bahasa, karena naratif yang merupakan produk dari bahasa hanya akan ada jika terdapat realitas di masa lalu itu, yang dalam hal tertentu kadang- kadang disebut sebagai pengalaman. Keberadaan peristiwa sebagai suatu bukti empirik akan menjadi penting untuk memungkinkan munculnya validitas naratif pada setiap rekonstruksi yang dilakukan terhadap masa lalu. Secara historis, keberadan kesadaran dekonstruktif itu kemudian berkaitan erat dengan perkembangan historiografi post-kolonial dan feminisme, yang berusaha melakukan perubahan secara struktural dalam melihat keseluruhan proses sejarah sebagai sesuatu yang lebih kongkrit. Menurut Kathleen Canning, keberadaan historiografi post-kolonial dan feminisme merupa- kan dua ciri penting dari proses dekonstruksi wacana dan pengalaman yang berkaitan dengan historisisme baru.

Perkembangan Tanpa Perubahan Secara Struktural

Kemerdekaan politik yang dicapai pada tahun 1945 telah mendorong sejarawan Indonesia membaca dan menulis kembali sejarah Indonesia dengan label Indonesiasentris, terutama sejak tahun 1950-an. Disamping munculnya optimisme barn untuk menulis sejarah yang kurang subjektif, sejak awal Soedjatmoko dan Mohammad Ali yang banyak menaruh perhatian pada persoalan-persoalan metodologis dalam sejarah Indonesia telah mengkhawatirkan tentang akan munculnya sebuah dekolonisasi historiografis yang diartikan secara sempit dalam proses perkembangan historiografi Indo- nesia pascakolonial.

Tahun 1957 merupakan tonggak penting dalam perkembangan historiografi Indonesia, ketika disusun sebuah rumusan baru tentang landasan filosofis penulisan sejarah Indonesia. Penyusunan konsep dasar yang dikenal sebagai Indonesiasentris itu merupakan reaksi terhadap tradisi historiografi kolonial, Belanda atau Eropa yang mengecilkan arti masyarakat Indonesia dalam proses sejarahnya sendiri. Secara teoretik dan filosofis, di dalam tradisi Indonesiasentris, sejarah Indonesia dipahami dari dalam yang berorientasi pada masyarakat Indonesia sebagai sebuah keutuhan bangsa. Keberadaan historiografi nasional ini tidak dapat dipisahkan dari kebutuhan untuk menentukan identitas bangsa dalam label sejarah nasional. Dalam perkembangan kemudian di dunia akademik, tradisi Indonesiasentris itu dikembangkan bersama-sama dengan tradisi pendekatan ilmu-ilmu sosial dalam historiografi Indonesia. Namun apakah persoalan intersubjektivitas yang menjadi ciri penting dari historiografi kolonial dapat diatasi oleh historiografi pascakolonial yang Indonesiasentris itu?

Sejak awal perkembangannya, historiografi Indo- nesiasentris ternyata cenderung menjauh dari sejarah objektif karena berkembangriya prinsip dekolonisasi historiografis yang bersifat ultra nasionalis dan lebih mementingkan retorika. Hal itu terutama tercermin di dalam karya generasi-generasi awal sejarawan Indonesia pascakolonial, seperti Sanusi Pane, M. Yamin, dan Soekanto. Dalam karyanya tentang enam ribu tahun sang merah putih, M. Yamin dengan gaya bahasa yang berapi-api mencoba meyakinkan bangsa Indonesia bahwa sejarah bendera nasional Indonesia merah putih telah berakar jauh ke belakang sejak enam ribu tahun yang lalu. Berbagai penafsiran atas warna yang ditemukan pada masyarakat In­donesia pada masa purba sampai kebiasaan tradisional bu­bur merah dan putih dijadikan dasar untuk menjelaskan eksistensi dan kesakralan dari arti simbolis warna merah dan putih pada bendera nasional itu. Pemahaman sejarah yang sama juga dapat dilihat dalam karya M. Yamin yang lain tentang Perang Diponegoro. Karya Soekanto tentang Sentot alias Alibasah Abdulmustopo Prawirodirjo seorang Senopati Pangeran Diponegoro juga dapat disejajarkan dengan karya M. Yamin tentang maha patih Gajah Mada dengan sumpah palapanya dan juga tentang Pangeran Diponegoro. Sentot seperti juga Gajah Mada dan Pangeran Diponegoro, digambar­kan sebagai tokoh yang sempurna, pahlawan yang telah berjasa dalam usaha mempersatukan bangsa dan perjuangan nasional Indonesia, tanpa perlu melihat konteks waktu dan ruang dari peristiwa-peristiwa itu. Padahal selain itu, bukti­bukti yang ada menunjukkan bahwa proses sejarah semua tokoh di atas tidak pernah lepas dari realitas kemanusiaan mereka masing-masing yang tidak mungkin mencapai kesempurnaan.

Di dalam konteks metodologis yang merujuk pada wacana dasar para relativis, karya-karya itu sebenarnya telah mere­konstruksi sejarah berdasarkan interpretasi kekinian, yaitu jiwa zaman yang berkembang pada waktu itu yang menitik­beratkan pada nasionalisme, patriotisme, dan revolusi Indo­nesia yang terus berlangsung. Namun satu hal yang perlu dicatat bahwa dekolonisasi historiografi itu dalam kenyata­annya lebih mementingkan ideologisasi terhadap masa lalu daripada merekonstruksi kebenaran sejarah. Akibatnya, keberadaan validitas normatif seperti yang disyaratkan oleh Jorn Rusen dalam kebenaran naratif tidak didukung oleh validitas empirik. Di samping itu ada satu hal lagi yang perlu dicatat, dalam perkembangan ilmu sejarah, adanya kecenderungan untuk mementingkan retorika dalam rekonstruksi sejarah merupakan strategi konfermasi yang dilakukan pada periode yang dikenal dalam perkembangan historiografi sebagai periode pra-modern, yaitu ketika tradisi penelitian sejarah belum digantikan oleh metodologi rasional dan ilmiah.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa seolah-olah segala sesuatu yang baik dalam pandangan historiografi kolonial menjadi buruk dalam historiografi Indonesiasentris, namun ironisnya wacana kolonial tidak pernah hilang dari historiografi Indonesia pascakolonial. Biarpun ada yang beranggapan bahwa melalui Indonesiasentris telah terjadi reinter-pretasi terhadap kolonialisme, dalam kenyataannya wacana kolonial tetap menjadi faktor dominan dalam narasi faktual. Segala sesuatu yang terjadi dalam sejarah Indonesia dianggap sebagai produk dari kolonialisme, padahal secara kontekstual kolonialisme sama dengan kemerdekaan, yaitu hanya merupakan representasi waktu dalam proses dan struktur sejarah Indonesia.

Oleh sebab itu biarpun generasi sejarawan Indonesia berikutnya sudah mulai berbeda gaya penulisannya dibandingkan dengan generasi pertama, penulisan sejarah yang didasarkan pada prinsip Indonesiasentris itu tetap saja masih menempatkan para pahlawan dan kekuasaan kolonial sebagai titik utama pembahasan. Buku Sagimun Mulus Dumadi tentang Pahlawan Diponegoro misalnya, tidak memiliki perbedaan yang berarti dalam penonjolan prinsip keindonesian yang sangat berlebihan dalam retorika yang digunakan diban- dingkan dengan buku M. Yamin dan Soekanto, sehingga sangat terasa adanya rekayasa intelektual yang disengaja oleh penulis untuk membenarkan aksi yang dilakukan oleh sang tokoh. Kalimat-kalimat seperti secara pengecut dan tidak jujur Belanda merampas senjata, pertempuran-pertempuran sengit berlangsung juga di beberapa tempat antara pasukan rakyat yang membela hak dan kemerdekaannya melawan pasukan kolonial Belanda yang mempertahankan kekuasaannya, atau pahlawan yang cakap dan gagah berani dapat dengan mudah ditemukan dalam buku-buku sejarah Indonesia. Oleh karena itu keberadaan politik pecah belah atau devide et impera, secara umum tetap saja hanya dilihat sebagai keinginan VOC dan kemudian pemerintah Hindia Belanda memperluas dan mempertahankan kekuasaannya, tanpa menyadari bahwa hal itu juga merupakan bagian dari keberlanjutan kompetisi dan konflik yang melibatkan keku- asaan setempat atau persoalin internal yang telah ada sejak lama. Namun jika cara penu1isa4-cli atas dikaitkan dengan jiwa zaman pada waktu itu, hal itu dengan sangat mudah dapat dimengerti mengingat adanya keperluan untuk memupuk semangat nasionalisme dari sebuh bangsa yang barn merdeka. Persoalan muncul, ketika dalam waktu yang lama perspektif itu telah berubah secara kultural menjadi wacana dogmatik yang membentuk sebuah cara berpikir sempit dan seragam dalam ketunggalan melihat masa lalu Indonesia.

Sartono Kartodirdjo, bapak sejarah kritis UGM dan salah satu sejarawan Indonesia terkemuka di abad ke-20, sebenarnya mulai mengalihkan sejarah Indonesia dari kajian yang hanya membahas tentang penguasa kolonial atau kerajaan menjadi pembahasan tentang masyarakat keba­nyakan, melalui studinya tentang pemberontakan petani Banten. Sartono juga mulai beralih dari tradisi penulisan sejarah yang berdasarkan filologi ke arah penulisan dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial. Sejarah struktural atau penu­lisan sejarah dengan pendekatan multidimensional menjadi ciri penting perkembangan historiografi Indonesia selan­jutnya. Akan tetapi kehadiran historiografi yang didasarkan pada pendekatan ilmu-ilmu sosial yang multidimeaional itu, ternyata tetap juga belum mampu menyingkirkan kecende­rungan rekonstruksi sejarah yang hanya menghujat kekuasa­an kolonial atau memfokuskan diri pada peristiwa di sekitar kolonialisme, ketika prinsip yang sama digunakan oleh para pendukung Sartonois atau biasa dikenal sebagai kelompok Mazhab Bulaksumur yang tersebar di seluruh Indonesia. Pada saat yang sama, entah mengapa tradisi penelitian sejarah kritis yang dikembangkan oleh Mohammad Ali dan disemaikan di UI, hilang begitu saja dan tidak mendapat perhatian dari para sejarawan Indonesia. Begitu juga dengan pemikiran sejarawan UI yang lain, Onghokham, juga tidak mendapat perhatian dari sejarawan Indonesia. Padahal jika seluruh tu­lisannya dikaji secara teliti, sangat sulit untuk membantah bahwa Onghokham sebenarnya telah menghadirkan wajah lain dalam memahami masa lalu Indonesia dan mampu menawarkan beberapa cara berpikir alternatif di tengah­tengah arus historiografi yang dominan.

Menurut sejarawan UGM yang lain, Kuntowijoyo, historiografi dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial itu hanya hidup di menara gading, sehingga kebenaran ilmiah dari rekonstruksi sejarah hanya ada di kalangan kelompok ter­tentu, yaitu para sejarawan di perguruan-perguruan tinggi. Berbeda dengan Kuntowijoyo yang lebih melihat problematik historiografi yang dikembangkan oleh Sartono Kartodirdjo itu dalam konteks tidak adanya pengaruh intelektual terha­dap kecenderungan umum penulisan sejarah Indonesia, beberapa kajian yang lebih kritis terhadap karya-karya sejarah yang menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial ternyata menemukan adanya kecenderungan bahwa tradisi baru itu masih tetap menempatkan sejarah Indonesia dalam pola pikir lama yang sangat menyederhanakan proses sejarah. Seperti telah disebutkan di atas, berbagai kajian yang berlabel multi­dimensional itu pun masih tetap memfokuskan eksplanasi historis searah Indonesia di sekitar kolonialisme, sehingga menafikan bukti-bukti empirik tentang adanya independensi kausalitas yang menempatkan sejarah sebagai sebuah proses yang sebenarnya terjadi di sekitar masyarakatnya. Padahal sebagai sebuah proses historis, sejarah pada masa kolonial tidak selalu identik dengan kekuasaan kolonial, karena se­jarah yang terjadi merupakan hasil dari interrelasi antar berbagai elemen yang ada pada waktu itu. Kekuasaan kolonial pada prinsipnya hanya merupakan satu dari berbagai ele­men yang menjadi bagian dari proses sejarah pada waktu itu. Persoalan bahkan berkembang lebih jauh, ketika penulisan sejarah dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial itu tidak mem­buka kesempatan kepada sejarawan Indonesia untuk memak­nai masa lalu sebagai sebuah naratif. Bahkan vonis telah dijatuhkan bahwa, sejarah naratif adalah sejarah yang tidak me- merlukan metodologi dan dianggap tidak ilmiah.

Persoalan tentang masih diteruskannnya pembahasan yang memfokuskan pada kekuasaan kolonial daripada masyarakatnya pada rekonstruksi sejarah Indonesia pada periode kolonial misalnya, dapat dilihat lebih jauh pada banyak karya sejarawan akademik yang menjadi skripsi S I , tesis S2, disertasi S3, dan publikasi-publikasi ilmiah lainnya. Sebuah tesis S2 yang membahas tentang perubahan sosial di Cianjur pasca pelaksanaan sistem Tanam Paksa sebagai contoh, lebih banyak mempermasalahkan tentang bagaimana dampak perkembangan perkebunan milik pemodal swasta asing daripada membicarakan bagaimana perkembangan penanaman atau perdagangan kopi rakyat setelah kewajiban tanam paksa dihapus. Sebagai sebuah realitas sejarah, pen- duduk sudah menanam kopi pada masa tanam paksa. Setelah sistem itu dihentikan, sebenarnya perlu dibahas apa yang terjadi dengan kebun kopi rakyat itu dan masyarakat yang selama ini terlibat dalam kebijakan tanam paksa itu. Selain itu tulisan ini dalam kenyatannya lebih mementingkan pertumbuhan pemukiman orang Eropa dan pasanggrahannya, dibandingkan dengan pertumbuhan rumah-rumah singgah dan waning milik penduduk seiring dengan perluasan aktivitas ekonomi dan mobilitas horizontal penduduk bumiputera pada waktu itu. Hal serupa dapat dilihat pada tesis yang membahas tentang perubahan sosial di Kerinci pada periode yang hampir sama. Aktivitas sosial dan ekonomi penduduk setempat dapat dikatakan hanya berfungsi sebagai tambahan dari aktivitas pemerintah kolonial dan pemodal swasta asing. Kenyataan itu tentu saja menimbulkan pertanyaan, adakah perbedaan prinsipil dengan karya-karya sebelumnya yang dikatagorikan sebagai hasil historiografi kolonialsentris, karena dalam kenyataannya keberadaan orang Indonesia di dalam proses historis itu tetap saja hanya sekedar sebagai pelengkap dari aktivitas orang Barat atau pemerintah kolonial yang lebih luas. Dalam kata-kata yang lain, historiografi Indonesiasentris yang dipraktekkan oleh sebagian besar sejarawan Indonesia pada prinsipnya memiliki premis dasar yang tidak berbeda secara metodologis jika dibandingkan dengan historiografi kolonial.

Sementara itu tesis yang lain tetap terjebak pada pola pikir yang secara umum dikembangkan dalam tradisi kolo­nialsentris tentang ciri penduduk bumiputera yang malas atau pembangkang. Akibatnya, beberapa tesis yang membahas tentang dinamika ekonomi lokal tidak dapat menjelaskan secara rasional persoalan kemiskinan, respon penduduk yang rasional terhadap kesempatan ekonomi, atau persoalan tenaga kerja. Hal itu tergambar secara jelas pada tesis tentang beras di Sumatera Barat sebagai contoh, yang hanya melihat aktivi­tas penduduk dalam ekspansi penanaman padi dalam konteks kebijakan pemerintah kolonial. Padahal jauh sebelum perlu­asan pengaruh kolonial di wilayah iM, penduduk Sumatera Barat di pusat-pusat penghasil beras telah secara sadar melakukan perluasan penanaman padi atas inisiatif sendiri atau bahkan merespon terhadap kebutuhan pasar. Oleh sebab itu tidak mengherankan, jika hampir sebagian besar tesis yang mencakup masa kolonial memiliki bab yang membicarakan tentang tindakan atau kebijakan pemerintah kolonial yang

mempengaruhi masyarakat namun melupakan dinamika internal masyarakat itu sendiri. Contoh yang lain, sebuah tesis tentang pertambangan di Sumatera Barat secara naif menyim- pulkan bahwa tidak ada orang Minang yang menjadi buruh tambang di Ombilin, dan orang Minang tidak bersedia bekerja sebagai buruh karena hal itu tidak sesuai dengan nilai sosio- kultural mereka yang tidak mau diperintah. Padahal realitas empiris menunjukkan bahwa banyak orang Minang yang bekerja sebagai buruh di tambang-tambang emas di kawasan Rejang Lebong, atau sebagai buruh pemetik kopi dan lada atau penyadap karet di Karesidenan Bengkulu, Lampung, Jambi, dan Palembang. Bahkan di Sawahlunto pun, sebenar- nya terdapat banyak orang Minang dari daerah lain yang bekerja di tambang batu bara itu. Jika seandainya realitas historisnya memang tidak ada atau sedikit orang Minang yang bersedia menjadi buruh upahan, maka hal itu dapat juga dihubungkan dengan tersedianya sumber ekonomi alternatif pada penduduk setempat di saat yang sama bukan karena sekedar mereka tidak mau diperintah.

Karya lain yang membahas tentang perbanditan di darat dan di laut, juga terjebak dalam alur yang hampir serupa. Biarpun tidak bisa dipungkiri bahwa karya-karya itu telah mampu memberi kontribusi yang sangat besar dalam pem- bahasan tentang dinamika internal masyarakat di tengah- tengah intervensi kolonial yang semakin luas dan dalam, adanya penokohan yang sangat kuat terhadap para bajak laut dan bandit sebagai pahlawan karena aktivitas mereka yang banyak merugikan pemerintah kolonial dan relasinya, dapat dengan mudah dianggap sebagai penyederhanaan terhadap persoalan sebenarnya atau proses sejarah. Akibatnya, ada kesan yang sangat kuat bahwa para bandit itu tidak dapat dihubungkan dengan kriminal, karena aktivitas mereka dipahami sebagai representasi dari "nasionalisme Indonesia" atau reaksi terhadap kekuasaan kolonial dalam arti politic. Padahal dalam kenyataan sejarah dan sosiologis, selalu raja ada kriminal yang sebenarnya, baik karena alasan politik, sosial maupun ekonomis.

Persoalan lain yang mengikuti pola pemahaman sejarah seperti yang telah digambarkan di atas menyebabkan sejarah Indonesia mengingkari adanya keragaman, perbedaan, dan konflik di dalam masyarakat sendiri tanpa hams mengkait­kannya dengan kekuasaan kolonial. Padahal sebagai sebuah struktur dan proses, sejarah perluasan kolonialisme tidak ter­lepas dari interaksi faktor-faktor eksternal dan internal. Hal itulah yang menyebabkan para sejarawan Indonesia membaca buku Max Havelaar dengan cara pandang yang salah. Segala sesuatu yang tertulis di dalam novel Max Havelaar dianggap sebagai kritik terhadap kolonialisme khususnya penanaman dan penyerahan wajib. Padahal sebenarnya, novel itu juga banyak menggambarkan realitas kekejaman para elite lokal daripada sekedar persoalan eksploitasi kolonial, seperti yang tergambar pada episode Saijah (baca saya) dan Adinda. Oleh sebab itu sejarawan Belanda C. Fasseur berpendapat, novel Max Havelaar sangat berpengaruh terhadap tidak adanya kepercayaan pemerintah kolonial untuk menyerahkan birokrasi kolonial kepada penduduk bumiputera, biarpun sebagian dan mereka telah dididik secara khusus melalui pen­didikan Barat dan mampu untuk menjadi birokrat modern. Persoalannya bukan hanya sekedar C. Fasseur sering dika­tagorikan sebagai sejarawan penerus tradisi kolonialsentris sehingga setiap pendapatnya seolah-olah harus ditolak, namun tidak bisa dipungkiri bahwa pendapatnya merupakan representasi dari realitas yang ada pada masa itu, dan tidak hanya sekedar interpretasi subjektif seorang pendukung kolonialsentrisme.

Masih adanya dominasi kolonial dalam historiografi In­donesia pascakolonial bahkan dapat dilihat lebih jauh dalam kajian-kajian Sartono Kartodirdjo. Dalam kajiannya tentang pemberontakan petani Banten misalnya, Sartono yang melihat prinsip-prinsip ratu adil, revivalisme, atau millena­rianisme sebagai dasar dan pergerakan sosial di pedesaan Jawa Barat, dalam beberapa hal juga terjebak pada determinisme eksploitasi ekonomi kolonial tanpa terlebih dahulu melihat secara kritis bagaimana kondisi ekonomi masyarakat saat itu baik secara kualitatif maupun kuantitatif, biarpun Sartono menyadari betul bahwa ekonomi bukan merupakan faktor utama terjadinya persitiwa itu. Beberapa bukti menunjuk­kan bahwa pada tahun 1888, di daerah Banten sedang terjadi pertumbuhan ekonomi yang baik dan peningkatan produksi pangan setelah mengalami bencana meletusnya Gunung Krakatau lima tahun sebelumnya. Keterlibatan para haji yang sangat penting dalam pemberontakan itu menunjukkan bah­wa persoalan sebenarnya tidak hanya sekedar eksploitasi ekonomi kolonial, melainkan sebuah konflik atau persaingan horizontal yang melibatkan kelompok sosial lain di dalam masyarakat setempat, tentu solo tanpa mengesampingkan adanya pengaruh intervensi kekuasaan kolonial yang semakin dalam dan luas.

Pendekatan yang sama nampaknya terus digunakan Sartono ketika ia membahas berbagai pergerakan sosial lain di pedesaan Jawa, yang mengesampingkan dinamika inter­nal di dalam masyarakat itu sendiri. Seperti kebanyakan para romantis, Sartono nampaknya percaya bahwa pedesaan meru­pakan representasi dari kedamaian dan keteraturan. Tidak mengherankan jika Sartono tetap memandang bahwa penda­pat yang mengatakan adanya pemerasan oleh bupati terhadap rakyat sebagai pendapat yang tidak memahami struktur birokrasi patrimonial yang berlaku di dalam masyarakat. Penyerahan rutin yang dilakukan para bawahan kepada elite lokal, dianggap Sartono memiliki arti yang berbeda dengan penyerahan wajib yang diberlakukan VOC atau pemerintah Hindia Belanda karena yang pertama merupakan kewajiban dalam konteks kekeluargaan atau hubungan patron-clients, sedangkan yang kedua merupakan bentuk dari eksploitasi negara atau institusi terhadap subjeknya. Padahal penelitian lain menunjukkan secara jelas bahwa pergolakan internal pedesaan merupakan faktor penting untuk memahami peru­bahan yang terjadi dalam sejarah pedesaan itu sendiri, dan sangat sulit untuk mernungkiri tidak adanya tradisi eksploi­tatif yang melekat pada penguasa lokal. Berdasarkan referensi yang ada dapat diketahui bahwa tindakan yang dilakukan oleh VOC dan pemerintah Hindia Belanda tidak lain meru­pakan kelanjutan dari tradisi yang telah ada sebelumnya .di dalam masyarakat setempat, atau yang dilakukan oleh para penguasa tradisional terhadap warganya sendiri. Hal itu dapat dilihat dengan jelas dalam kasus Perang Diponegoro. Disamping sebab-sebab lain yang juga berhubungan dengan kekuasaan kolonial, dukungan besar yang diberikan oleh masyarakat terhadap Pangeran Diponegoro berkaitan erat dengan pemiskinan yang harus ditanggung rakyat karena tidak adanya empati penguasa tradisional terhadap nasib rakyat sehubungan dengan kebijakan pemerintah kolonial tentang penyewaan tanah apanage dan pajak.

Keterjebakan historiografi Indonesiasentris dalam determinisme kolonial ini juga terlihat dalam pemahaman tentang perlawanan para Paderi di Sumatera Barat pada paruh pertama abad XIX, dan konflik antara ulama dan ulebalang di Aceh. Historiografi Indonesia pascakolonial memahami Perang Paderi dalam dimensi penjelasan historis yang berkaitan dengan konflik keagamaan dan adat yang melibatkan kelompok adat, ulama, dan kekuasaan kolonial. Dalam penjelasan dikotomis yang sangat simplistik, historiografi Indonesia menempatkan kaum adat yang didukung oleh kekuasaan kolonial berperang dengan kaum paderi yang mencoba mempertahankan eksistensi kekuasaan sosial, kultural, dan politik setempat dari eksploitasi kolonial. Pada hal ternyata banyak hal yang dilupakan, seperti yang tergambar dalam tulisan Christin Dobbin. Ranah Minangkabau pada waktu itu merupakan wilayah yang sedang mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat melalui produksi dan perdagangan beras dan kopi. Bonjol yang merupakan salah satu pusat perlawanan para ulama merupaakan daerah yang makmur, yang memungkinkan para penduduknya membangun benteng dan menyediakan peralatan perang yang cukup. Narasi faktual yang dipahami saat ini menunjukkan bahwa faktor-faktor penyebab Perang Paderi tidak sekedar minum tuak, judi, sabung ayam atau eksploitasi kolonial melainkan sebuah produk dari rivalitas sosial, eko­nomi, kultural dan bahkan politik antara dua kelompok sosial yang berbeda di dalam masyarakat Minangkabau sendiri dengan atau tanpa adanya kolonialisme Belanda.

Cara berpikir yang serupa dapat juga digunakan untuk menjelaskan sejarah Aceh. Penelitian yang dilakukan oleh M. Gade Ismail di Aceh Timur menunjukkan dengan jelas adanya persaingan terus menerus antara ulama dan ulebalang dalam produksi dan perdagangan lada, jauh diluar persoalan intervensi kekuasaan kolonial. Oleh sebab itu, persitiwa perang Aceh tidak dapat dipisahkan begitu saja dari kelan­jutan proses dinamika internal masyarakat Aceh sendiri, biar­pun penjelasan historis selama ini menempatkan secara dikoto­mis antara ulebalang yang memihak Belanda atau bagian dari birokrasi kolonial dan ulama yang nasionalis atau anti birokra­si moderen. Beberapa bukti akhir-akhir ini menunjukkan bah­wa ulama sebagai kelas sosial tidak begitu saja terbebas dari birokrasi kolonial, ketika pendidikan Barat mulai diperkenal­kan di daerah ini. Biarpun lebih banyak mereka yang berlatar belakang sosial ulebalang yang pergi ke sekolah-sekolah Barat, pembukaan sekolah-sekolah model Barat oleh organisasi nasio­nalis dan Islam serta rasionalisasi sistem birokrasi kolonial membuka kesempatan terjadinya perubahan struktural dalam pekerjaan dan rekrutmen. Sebagai kelompok sosial tersendiri, ulama mulai bersaing dalam ruang yang secara tradisional merupakan hak Para ulebalang. Oleh sebab itu, konflik antar kelompok sosial yang berbeda telah menciptakan baru yang cenderung menjadi berkepanjangan. Hal yang sama nampaknya dapat digunakan untuk menjelaskan salah satu sebab dan disintegrasi sosial dan konflik di Aceh sejak berlangsungnya proses golkarisasi pada masa Orde Baru sampai saat ini.

Namun menurut Kuntowijoyo, prinsip autonomous history yang diungkapkan oleh John Smail, yang menjadi dasar untuk menjelaskan dua kasus di atas, tidak dapat digunakan untuk semua persitiwa yang terjadi pada masa kolonial, karena hal itu akan mereduksi realitas sejarah dari peristiwa seperti Sistem Tanam Paksa, kebijakan liberal, dan politik etis. Pernyataan itu tentu saja tidak seluruhnya salah Akan tetapi satu hal yang perlu dicatat bahwa sebagai sebuah proses sejarah, masa lalu yang berkaitan dengan pelaksanaan Sistem Tanam Paksa misalnya tidak dapat digeneralisasi sebagai satu peristiwa linier yang hanya melibatkan kolonial sebagai kekuasaan politik semata, seperti yang telah digambarkan dengan baik oleh Robert Elson. Dalam kenyataannya, eksploitasi bukan satu-satunya fenomena yang ada dalam sejarah pada masa dijalankannya Sistem Tanam Paksa. Hal itu berarti, konsep indegenous dynamic harus dipahami secara luas, yaitu mencakup seluruh masyarakat yang terlibat pada masa itu tanpa perlu membedakannya secara etnik. Oleh sebab itu, dari masa Sistem Tanam Paksa dapat ditemukan realitas historis yang lebih beragam, seperti tentang adanya keterlibatan modal swasta dalam pelaksanaan sistem itu, nepotisme dan korupsi yang dilakukan oleh para birokrat Hindia Belanda, keuntungan ekonomis besar yang dinikmati para broker bumiputera termasuk para elite lokal seperti bupati dan lurah sehingga mereka menjadi kaya raya, kemampuan penduduk pedesaan merespon secara positif kesempatan ekonomi baru, strategi penduduk menciptakan peluang-peluang social dan ekonomi untuk sekedar bertahan dari tekanan kemiskinan, disamping tentu saja eksploitasi seperti yang telah banyak dibicarakan selama ini.

Persoalan lain yang juga perlu diperhatikan, ketika sebu­ah reinterpretasi yang berbeda terhadap realitas masa lalu dilakukan, historiografi Indonesia pascakolonial ternyata tidak semakin mendekat dengan kenyataan sejarah objektif sebagai peristiwa, malah sebaliknya semakin terjebak dalam kerangka berpikir yang ultra nasionalistik. Persoalan yang di­hadapi bukan hanya sekedar kesalahan karena menempatkan Sultan Hassanuddin, Sultan Agung, Pangeran Diponegoro atau Teuku Umar sebagai pahlawan nasional yang berjuang melawan Belanda, namun memahami peristiwa itu sebagai bagian dari proses perjuangan nasionalisme Indonesia telah mengakibatkan terdapat banyak anakronisme dalam rekon­struksi sejarah Indonesia. Kesalahan interpretasi ini menjadi semakin luas, ketika A.B. Lapian dan Suhartono seperti telah disebutkan di atas menempatkan bajak laut dan bandit pede­saan sebagai bagian dari proses perlawanan terhadap kekua­saan kolonial dalam kerangka nasionalisme Indonesia. Jika nasionalisme itu dipercaya sebagai sebuah kesadaran iden­titas, maka sangat sedikit bukti yang dapat dikumpulkan dari penelitian yang telah ada bahwa apa yang dilakukan para bajak laut dan bandit itu merupakan representasi dari kesa­daran identitas diri sebagai sebuah bangsa. Walaupun tidak bisa dipungkiri bahwa proses marginalisasi terhadap pendu­duk setempat sebagai akibat dari perluasan kekuasaan kolo­nial telah menimbulkan berbagai bentuk perlawanan, namun sebagai realitas masa lalu tidak semua bajak laut dan bandit pedesaan itu adalah "musuh" penguasa kolonial. Para bajak laut dan bandit pedesaan itu merompak siapa saja, tidak hanya mereka yang berhubungan dengan kekuasaan kolonial. Bahkan sebagian dari mereka bekerja untuk penguasa kolo­nial, seperti yang tergambar dalam tulisan Christopher War­ren tentang wilayah laut Sulu dan Nicholas Tarling yang menulis tentang wilayah laut sekitar Riau dan Selat Malaka. Hal itu menunjukkan adanya beragam realitas sosial di masa lalu dalam konteks ini, yaitu para kriminal, mereka yang me­representasi perlawanan terhadap kekuasaan kolonial, dan mereka yang menjadi bagian dari kekuasaan itu sendiri. Iro­nisnya, historiografi Indonesia pascakolonial tidak menyadari hal itu, sehingga realitas objektif dari masa lalu tertutup oleh ideologisasi naratif yang hanya didasarkan pada wacana dan pengalaman yang sesuai dengan kekinian, yang tentu saja sangat politis.

Historiografi Indonesia pascakolonial juga terlalu meni­tikberatkan pada penjelasan politik dan peran penting yang selalu dimainkan oleh orang besar dalam kejadian sejarah. Kecuali beberapa kajian tentang gerakan petani, sejarah In­donesia yang ditulis sebagian besar hanya berkisar pada keku­asaan, negara, dan institusi, sehingga sejarah menjadi sangat formal. Orang besar sebagai individu selalu dianggap sebagai inti dalam setiap peristiwa, bukan masyarakat. Akibatnya, mencari dalang, kambing hitam, dan membuat generalisasi sempit menjadi sangat penting dalam memahami unsur siapa yang paling utama dalam sebuah peristiwa sejarah. Secara historis, perhatian terhadap institusi juga sangat berlebihan. Ketika para sejarawan Indonesia menulis tentang Muham- madiyah atau NU, maka yang ditulis selain tokoh-tokoh utamanya juga hanya tentang apa yang terjadi pada kedua organisasi itu secara institusional. Keragaman proses sosial menyejarah yang melibatkan massa yang tidak selalu terikat pada institusi secara ketat, dapat dikatakan tidak mendapat perhatian. Oleh karena itu tidak banyak sejarawan Indone- sia yang menyadari kenyataan historis bahwa tidak semua pesantren NU akan tunduk dan berperilaku seperti yang telah diputuskan organisasi, dan secara sosial ditemukan banyak orang yang mengakui sebagai pengikut Muhammadiyah ternyata tetap mengamalkan wind dan berpikir sangat kon- servatif dan tradisional. Sementara itu dalam kontelcs ekonomi secara umum, historiografi Indonesia pascakolonial juga sama seperfi historiografi kolonial telah gagal merekam kehidupan ekonomi penduduk sehari-hari. Seperti telah disebutkan di atas, hampir seluruh penjelasan tentang sejarah ekonomi In- donesia didasarkan pada pemilciran tentang adanya eksploitasi kolonial. Akibatnya, kemampuan penduduk bumiputera merespon munculnya kesempatan ekonomi baru misalnya, sama sekali tidak pernah Mendapat tempat dalam penulisan sejarah Indonesia yang resmi. Perkembangan perkebunan rakyat yang berskala kecil dan aktivitas ekonomi non-farm atau pun ekonomi non-formal yang sangat penting bagi ekonomi masyarakat luput dari perhatian historiografi Indonesia pascakolonial.

Sebagian besar sejarawan Indonesia beralasan bahwa kelangkaan data adalah masalah utama dari tidak adanya rekonstruksi sejarah tentang masyarakat kebanyakan pada masa kolonial. Akan tetapi penelitian akhir-akhir ini menunjukkan bahwa pendapat itu tidak benar. Kajian yang dilakukan terhadap beberapa tema seperti karet rakyat di Sumatera Timur dan Sumatera Bagian Selatan, perikanan laut di Sapudi dan Kangean serta pantai utara Jawa, perikanan air tawar di Jawa Barat yang semuanya terjadi pada masa colonial membuktikan bahwa konteks sosially important yang melekat pada sejarah Indonesia tidak hanya berhubungan dengan orang besar, peristiwa politik, atau negara melainkan juga pada berbagai kehidupan sehari-hari masyarakat kebanyakan, seperti yang telah digambarkan dengan baik oleh beberapa sejarawan asing. Kepincangan ini agak terobati sejak awal tahun 1990-an, ketika muncul beberapa tulisan lain yang dilakukan sejarawan Indonesia, seperti tentang Serat Cebolek, Sumur Ajaib di Surakarta, dan sepakbola di Jawa pada masa kolonial.

Perempuan baik sebagai objek maupun wacana sejarah merupakan salah satu unsur yang juga hilang dalam historiografi Indonesia pascakolonial. Berkembangnya pengaruh Hindu-Budha, meluasnya pengaruh Islam, perubahan ekonomi yang terjadi sejak paruh pertama abad XIX, atau pengadopsian nilai-nilai Barat ke dalam masyarakat seharusnya tidak hanya berpengaruh terhadap laki-laki melainkan juga kepada perempuan. Namun narasi maupun penjelasan terhadap masa lalu Indonesia tetap hanya berlangsung di sekitar laki-laki. Adanya pemaparan tentang beberapa perempuan yang pernah berkuasa di kerajaan-kerajaan tra­disional atau tentang para perempuan yang berperan dalam perkembangan pendidikan masyarakat seperti Kartini, Rahmah El Yunusiyyah dan yang lainnya, tidak menghilang­kan kenyataan bahwa secara prosesual sejarah Indonesia hanya melibatkan laki-laki dan secara konseptual berkelamin laki-laki. Lebih ironis lagi, biarpun secara bahasa seperti juga sebagian bahasa yang lain bangsa Indonesia menggunakan istilah ibu pertiwi untuk menyebutkan tanah airnya, dalam kenyataannya secara historiografis ibu pertiwi itu berkelamin laki-laki. Hal itu bisa dilihat dengan jelas pada simbol-sim­bol yang muncul dari ibu pertiwi itu dalam konstruksi dan wacana sejarah Indonesia, kecuali sebuah syair lagu yang me­nunjukkan ibu pertiwi yang sedang menangis karena menangis secara naif dianggap sebagai identitas keperempuanan. Patung­patung, monumen, atau diorama yang dianggap merepresen­tasi sejarah Indonesia yang pernah dibangun selama ini, ham­pir seluruhnya menunjukkan bahwa ibu pertiwi itu bukan perempuan.

Oleh karena itu tidak mengherankan, walaupun dalam kenyataan sejarah para perempuan memiliki fungsi yang penting dalam proses perkembangan agama-agama di Indo­nesia, dalam kenyataan historiografis sangat sulit untuk menemukan rekonstruksi tentang para bikuni dalam tradisi Buddha, biarawati dalam tradisi Kristen, atau para Nyai di pesantren Islam sebagai realitas sejarah. Jikapun ada yang menghadirkan perempuan dalam proses sejarah, maka kebe­radaan mereka hanya dikaitkan pada beberapa aspek tertentu yang cenderung berkonotasi negatif, seperti pelacuran atau penyakit kelamin. Selain memang adanya realitas sosial bah­wa perempuan memiliki posisi yang marginal di dalam masya­rakatnya pada masa lalu, telah terjadi juga marginalisasi terha­dap kenyataan historis tentang perempuan dalam historiografi Indonesia. Perempuan seolah-olah tidak pernah ada dalam proses menyejarah Indonesia, dan para sejarawan berang­gapan hanya laki-laki yang mampu menghasilkan jejak masa lalu yang bisa dikatagorikan sebagai sosially important atau bersejarah. Kalaupun perempuan ada di dalam sejarah Indo­nesia, hal itu hanya sekedar menghadirkan perempuan sebagai objek yang ada pada masa lalu, bukan masa lalu itu dilihat dengan perspektif keperempuanan

Hilangnya wacana perempuan dalam sejarah Indonesia pascakolonial terlihat dengan jelas pada struktur dan pema­paran isi, baik pada tujuh jilid buku Sejarah Nasional Indone­sia yang diterbitkan pemerintah maupun dua jilid buku Pengantar Sejarah Indonesia Baru yang ditulis oleh Sartono Kartodirdjo. Baik pada buku pertama maupun pada buku yang kedua, sejak awal sampai akhir dipaparkan berbagai aspek-aspek sejarah. Namun dua-duanya baik secara sadar maupun tidak telah mengabaikan realitas historis perempuan sebagai bagian dari proses sejarah Indonesia. Seperti yang disampaikan oleh Peter Boomgard misalnya, perubahan struk­tur ekonomi sejak masa Cultuurstelsel telah mendorong lebih banyak perempuan terlibat di dalam aktivitas ekonomi di luar rumah. Akibatnya, pertumbuhan penduduk menjadi tinggi karena tingginya angka kelahiran. Masa subur perem­puan usia subur menjadi lebih panjang, karena mereka segera memutuskan untuk tidak lagi menyusui anaknya agar dapat ditinggal bekerja di mar rumah. Perubahan itu tentunya akan menimbulkan perubahan lain, paling tidak dalam struktur produlcsi, pekerjaan, atau hubungan sosial-kekeluargaan di dalam masyarakat. Dalam kenyataannya, keberadaan perem- puan dalam proses sejarah itu dapat juga dilihat pada peran mereka sebagai mediator dalam perubahan masyarakatnya, seperti yang dibuktikan oleh sebuah kajian tentang perkembangan pendidikan Barat di masyarakat Batak pada masa kolonial.

Tidak adanya perempuan dalam sejarah Indonesia dapat dilihat lebih jauh dalam kajian perkembangan sosial Kota Yogyakarta yang dilakukan oleh Abdurrachman Surj omihar- djo. Hampir seluruh isi buku itu memaparkan aktivitas para laki-laki dan melihat kota sebagai dunia laki-laki, padahal Kota Yogyakarta merupakan tempat berlangsungnya Kongres Perempuan Pertama dan di kota ini juga diterbitkan banyak majalah yang membahas tentang perempuan. Padahal kajian tentang buruh wanita di perkebunan teh di Jawa Barat dan pembantu rumah tangga pada masa kolonial menunjukkan adanya perempuan dalam proses sejarah Indonesia. Khusus berkaitan dengan pembantu rwnah tangga, Ann Stoler secara jelas menggambarkan tentang hubungan antara perempuan bumiputera dengan modernisasi masyarakatnya. Apa yang digambarkan oleh Stoller adalah satu hal yang tidak pernah terpikirkan dalam tradisi Indonesiasentris, yaitu para perempuan yang menjadi pekerja rurnah tangga di keluarga-keluarga Barat dan asing lainnya ternyata memerlukan pendidikan tertentu untuk bisa menjadi pembantu. Mereka tidak selalu terhanyut dengan kebodohan selamanya, tanpa mengalami perubahan. Para pekerja perempuan itu ternyata juga men­jadi agen atau perantara dari modernisasi dan perubahan gaya hidup, termasuk penyebarluasan jenis masakan Barat, Cina, atau Jepang ke dalam masyarakat melalui keluarga atau juga secara komersial.

Di dalam konteks yang lain, ketidakhadiran perempuan itu dapat dilihat dalam pemahaman tentang konsep priyayi Jawa. Beberapa simbol seperti burung, keris, kuda, dan wanita yang melambangkan peradaban priyayi secara jelas menun­jukkan bahwa dunia priyayi adalah dunia laki-laki. Padahal dan novel Canting Arswendo Atmowiloto yang merupakan representasi dari sebuah realitas sosial di Surakarta dapat dilihat adanya dunia priyayi perempuan. Para laki-laki yang menjadi saudagar batik, sangat mudah diasosiasikan sebagai seseorang yang hidup dalam dunia kepriyayian di samping identitas sosial lainnya sebagai pedagang. Akan tetapi para perempuan yang berprofesi sama tidak pernah dikaitkan dengan peradaban priyayi, karena seperti telah disebutkan di atas dunia priyayi adalah dunia para lelaki. Tidak meng­herankan, jika penyimpangan-penyimpangan perilaku sosial yang berkaitan dengan dunia priyayi akhirnya juga hanya melekat pada laki-laki, padahal sumbangan perempuan secara sadar untuk hal yang sama tidak kalah besarnya. Judi, opium, dan skandal seks misalnya, dalam sejarah sosial kelompok masyarakat priyayi ternyata juga melibatkan para perem­puan.

Sementara itu, realitas objektif sejarah Indonesia juga memiliki bukti bahwa para birokrat bumiputera dan guru di sekolah-sekolah model Barat merupakan bagian dari sejarah para priyayi. Akan tetapi ketika para perempuan mulai terlibat sebagai guru dan kemudian juga birokrat, pemahaman terhadap priyayi tetap saja hanya berdimensi laki-laki. Oleh sebab itu, perubahan profesi para perempuan pada komu­nitas santri pedagang menjadi guru di pusat-pusat perkem­bangan Muhammadiyah seperti di Kota Gede dan Kauman di Yogyakarta serta Pekalongan sebagai contoh, tidak pernah dilihat sebagai bagian dari sejarah sosial masyarakatnya. Dalam konteks pendidikan, perempuan biasanya juga hanya dihadirkan jika berkaitan dengan Kartini, Dewi Sartika, atau tokoh-tokoh perempuan utama lainnya, namun wacana perempuan seolah-olah hilang tidak berbekas jika berbicara tentang institusi seperti Taman Siswa atau Muhammadiyah. Padahal realitas objektif sejarah sebagai peristiwa masa lalu menunjukkan bahwa keberadaan perempuan merupakan kunci utama dan dua lembaga pendidikan di atas, dan juga lembaga-lembaga sejenis lainnya tanpa hams dikaitkan dengan tokoh perempuan utama. Disamping itu telah menjadi sebuah kenyataan sejarah juga, historiografi Indonesia sampai saat ini lebih terpaku pada tema-tema sekitar eksploitasi ta­nah dan tenaga kerja pada masa diberlakukannya Sistem Tanam Paksa atau perjuangan bersenjata mempertahankan kemerdekaan, daripada proses sosialisasi keluarga atau kehidupan sosial perempuan pada masa diberlakukannya tanam paksa dan revolusi.

Ketidakhadiran perempuan dalam historiografi Indone­sia pascakolonial ini menjadi semakin lengkap, ketika Darsiti Soeratman yang merupakan salah satu sejarawan perempuan terkemuka Indonesia menulis tentang Kehidupan Dunia Keraton Surakarta antara tahun 1830 dan 1939 hanya mema­parkan tentang kehidupan perempuan pada saat mendes­kripsikan kehidupan sehari-hari di dalam keputren. Selebih­nya, narasi yang dibangun tetap berdimensi laki-laki, padahal di dalam buku itu juga digambarkan bagaimana perubahan gaya hidup di dalam keraton sebagai akibat dari masuknya pengaruh Barat, yang sudah pasti melibatkan para perempuan yang menjadi bagian dari proses sejarah Keraton Surakarta selama kurang lebih seratus tahun. Seperti juga Darsiti, seja­rawan perempuan lain Djuliati Suroyo juga tidak banyak memperhatikan persoalan ketimpangan gender pada tingkat wacana ketika membahas tentang tenaga kerja pada masa Tanam Paksa di Kedu. Padahal dari data yang disajikan secara luas oleh Robert Elson, salah satu interpretasi penting yang dapat dilakukan adalah adanya perubahan penting dalam konteks tenaga kerja perempuan sejak diberlakukannya Cultuurstelsel. Nina Lubis yang menulis tentang priyayi dan bangsawan Sunda, mungkin bisa dianggap sedikit berbeda jika dibandingkan dua sejarawan perempuan yang telah disebutkan sebelumnya dalam menghadirkan citra perempuan dalam sejarah. Biarpun masih ada kesan yang sangat kuat bahwa dunia menak yang dia gambarkan dalam tulisannya merupakan dunia laki-laki, Nina jauh lebih mampu meng­hadirkan citra perempuan dalam tulisannya. Selain itu, pengakuan bahwa ide tentang modernisasi telah menjadi cara berpikir yang biasa pada para perempuan Indonesia, termasuk di dalam keluarga muslim yang sering dianggap konservatif pada masa kolonial, tergambar dengan jelas dalam beberapa karya sastra yang terbit pada masa itu. Buku Student Soelaiman yang terbit pada tahun 1935 misalnya, secara jelas me­nunjukkan keinginan untuk menyekolahkan Soelaiman ke Mesir agar bisa menjadi orang pergerakan lebih karena pikiran maju dari seorang ibu daripada bapak. Untunglah akhir-akhir ini beberapa sejarawan perempuan Indonesia mulai muncul dengan tulisan mereka yang mencoba menghadirkan wacana perempuan dalam sejarah Indonesia, terutama tulisan yang membahas tentang para perempuan yang mencoba bertahan di tengah-tengah kekejaman (laki­laki) setelah peristiwa Gerakan 30 September. Namun iro­nisnya, hal itu bukan muncul dari para sejarawan di pergu­ruan tinggi yang seharusnya melakukannya, melainkan dari para intelektual muda, dan bahkan sebagian besar mereka tidak mendapat pendidikan sejarah secara formal, yang be­kerja di lembaga-lembaga non-pemerintah untuk kegiatan bersifat advokatif bukan keilmuan.

Di samping hilangnya perempuan, historiografi Indone­sia adalah rekonstruksi dunia orang dewasa yang melupakan keberadaan anak-anak dan remaja dalam sejarah. Keberadaan anak-anak dalam sejarah tidak pernah dianggap sebagai bagian dari proses sejarah. Padahal Anthony Reid membuat sebuah gambaran yang menarik, biarpun pendapatnya itu masih dapat diperdebatkan, bagaimana eksistensi anak menjadi penting dalam memahami perbedaan perkembangan demografi pada masa damai dan masa perang. Menurut pen­dapat itu, orang tua cenderung menjarangkan jarak kelahiran menunggu sampai anak terkecil dapat berlari sendiri untuk menghindar dari musuh pada masa perang, namun mereka tidak menghiraukan hal itu pada masa damai. Di samping itu, pembahasan lain yang menjelaskan tentang usaha masyarakat menghadapi kemiskinan sejak masa Cultuurstelsel ternyata dapat dikaitkan dengan anak yang dianggap sebagai modal. Akibatnya, jumlah penduduk bertambah dengan cepat karena setiap keluarga cenderung memiliki anak sebanyak mungkin untuk memproduksi tenaga kerja dalam rangka meningkatkan jumlah pendapatan. Pada saat yang sama, jumlah tenaga kerja anak-anak mengalami peningkatan yang sangat signifikan.

Peniadaan anak-anak dan remaja dalam proses sejarah ini dapat dilihat lebih jauh dalam pembahasan tentang Pendidikan, karena hampir seluruh kajian tentang sejarah pendi- dikan di Indonesia menyajikan pendidikan seolah-olah hanya bagi orang dewasa. Sebagai contoh, siapakah dan berapakah usia yang sebenarnya dari mereka yang masuk ke sekolah desa atau sekolah angka dua pada masa kolonial. Pertanyaan yang serupa dapat ditanyakan kepada mereka yang menjalani pendidikan Sekolah Dokter Jawa dan sekolah lainnya, yang sangat jelas belum dapat dipisahkan dari dunia anak-anak, atau lebih tepatnya remaja ketika para siswa itu memulai pendidikannya. Bahkan kalau dilihat terminologi Taman Indria, Taman Muda, Taman Dewasa, dan Taman Madya yang digunakan Perguruan Taman Siswa untuk menentukan jejang pendidikan dari pra-sekolah sampai dasar dan me- nengah, seharusnya menyadarkan sejarawan tentang adanya anak-anak dan remaja dalam sejarah. Kenyataannya, historiografi Indonesia menggambarkan para siswa itu seolah-olah langsung sebagai orang dewasa yang siap menjadi juru tulis, mantri, birokrat, atau dokter selama mengikuti pendidikan, bukan anak-anak dan remaja yang secara perlahan dan alami tumbuh dewasa seiring dengan proses waktu.

Selain itu, identifikasi sosial-kultural dan historiografi Indonesia secara umum kadang-kadang juga terlalu dipusat­kan pada Islam dan cenderung melupakan unsur lainnya. Akibatnya, sejak kedatangan bangsa Barat ke Indonesia, sebagai contoh, seolah-olah hanya terjadi proses kristenisasi sedangkan proses islamisasi telah berakhir pada abad-abad sebelumnya. Padahal banyak bukti yang menunjukkan, proses islamisasi di banyak wilayah di Indonesia berlangsung seiring dengan proses perluasan kekuasaan VOC dan kemudian peme­rintah Hindia Belanda. Secara historis juga dapat dibuktikan bahwa di beberapa tempat Islam diterima oleh masyarakat bukan karena alasan teologis semata melainkan juga karena alasan politic, seperti juga yang dilakukan oleh masyarakat yang kemudian memilih Kristen. Islam menjadi ideologi alter­natif terhadap kolonialisme, bukan terhadap Kristen. Islam sebagai realitas sosio-historis dicampuradukkan dengan Is­lam sebagai sebuah aqidah, sehingga selalu muncul banyak kesulitan ketika hams berhadapan dengan masa lalu yang berhubungan dengan Islam. Dalam konteks ini seolah-olah telah ada konvensi tentang standardisasi secara historiografis tentang hal-hal yang berhubungan dengan Islam. Jika keluar dan standar yang telah ditentukan, maka seorang penulis sejarah akan sangat mudah dituduh menghina Islam sebagai agama, tentu saja tidak dalam arti absolut. Padahal secara teoretik-konseptual, Islam seperti juga agama-agama lain sebagai realitas politik yang lebih menekankan pada aspek manusianya sebagai contoh, dapat dengan mudah dipisahkan dari Islam sebagai agama dan aqidah.

Konstruksi sejarah yang dibangun juga cenderung menga­baikan sisa-sisa komunitas Hindu-Buddha. Padahal segera setelah agama menjadi salah satu identitas sosial yang penting sejak kemerdekaan, kenyataan yang ada menunjukkan bahwa komunitas Hindu-Buddha belum punah dan terus bertahan. Hal itu berbeda dengan penulisan sejarah selama ini yang memberi kesan seolah-olah keberadaan komunitas Hindu-Buddha telah berakhir ketika Islam berkembang, kecuali unsur-unsurnya yang melebur ke dalam masyarakat baru melalui proses alkulturasi, asimilasi dan sebagainya. Oleh karena itu tidak mengherankan jika masyarakat di Sumatera Barat yang sangat bangga dengan identitas keislaman mere­ka pada saat ini sebagai contoh, sangat sulit menerima kebe­radaan Adityawarman sebagai bagian dari sejarah Minang­kabau, terlepas dari paparan Audrey Kahin yang lebih meng­kaitkan persoalan yang ada dengan hubungan antara Aditya­warman dan Jawa. Kegagalan M. Yamin sebagai menteri pen­didikan dan sekaligus seorang yang berasal dari Sumatera Barat memberi nama Adityawaman pada peguruan tinggi yang sekarang dikenal sebagai Universitas Andalas pada tahun 1950-an, penolakan gubernur Sumatera Barat terhadap nama Adityawarman bagi museum yang baru didirikan pada tahun 1970-an, dan persoalan sekitar sistem matrilineal tidak bisa dipisahkan dari dominasi Islam dalam wacana historiografis masyarakat Minangkabau serta kecenderungan pengingkaran terhadap adanya unsur Hindu-Buddha dalam realitas sosio­historis masyarakat di wilayah itu.

Cara berpikir di atas juga menimbulkan marginalisasi terhadap unsur Cina dalam proses sejarah Indonesia, karena Islam dan Cina diibaratkan seperti air dan minyak yang tidak mungkin bercampur. Terlepas dari adanya persoalan secara metodologis, tidak mengherankan jika buku Slamet Muljana yang mengatakan ada wali di antara para Wali Songo yang asal usulnya berhubungan dengan Cina mendapat reaksi yang sangat keras sehingga buku itu dilarang pada tahun 1960- an, dan baru boleh diedarkan kembali secara resmi akhir­akhir ini. Padahal sebagai realitas objektif sejarah, banyak bukti yang menunjukkan bahwa Islam di Indonesia dan begitu juga Indonesia secara umum berhubungan erat dengan unsur­unsur Cina. Adanya keterkaitan unsur Cina dengan sejarah masyarakat di Indonesia itu akan menjadi lebih jelas jika dikaitkan dengan proses sejarah secara lebih luas lagi. Salah satu di antaranya adalah kehidupan sehari-hari, yang me­nunjukkan unsur Cina yang cukup besar pada makanan yang dikonsumsi sebagian besar masyarakat, seni bangunan, musik, atau pakaian adat masyarakat yang sebagian besar menya­takan diri mereka beragama Islam. Hal itu misalnya dapat dilihat pada seni menyulam yang berkembang pesat di Suma­tera Barat. Menurut kajian yang pernah dilakukan, seni me­nyulam yang ada di daerah ini ternyata tidak dapat dipisahkan dari motif-motif yang bergaya Cina, seperti juga yang terdapat di dalam motif kain batik produksi komunitas muslim di Pekalongan dan Cirebon. Daftar adanya pengaruh Cina ini akan menjadi lebih panjang jika dimasukkan berbagai unsur yang telah menjadi identitas kultural masyarakat yang mengidentifikasi diri mereka hanya sebagai masyarakat mus­lim, seperti Betawi, Palembang, Melayu, dan Banjar. Jika kegiatan ekonomi juga dilihat dalam perspketif sejarah sosial dan kebudayaan, maka bentuk pengaruh unsur Cina dalam sejarah masyarakat Indonesia menjadi semakin besar.

Mencari Format Baru Historiografis

Berdasarkan paparan di atas, ditemukan beberapa para­dok ketika mencoba mencari akar kesadaran dekonstruktif dalam historiografi Indonesia pascakolonial. Berbeda dengan pemahaman teoretik, historiografi Indonesia pascakolonial dalam banyak hal ternyata tidak mampu memunculkan sikap kritis terhadap pola berpikir historiografi yang lama. Persoalan yang dihadapi tidak hanya sekedar karena historiografi Indonesiasentris berkembang bersamaan dengan tradisi pen­dekatan ilmu-ilmu sosial yang didasarkan pada tradisi empirik dalam penelitian sejarah, namun lebih banyak disebabkan ketidakmampuan memahami secara kritis perbedaan antara sejarah sebagai sebuah realitas objektif masa lalu dengan seja­rah sebagai sebuah hasil proses intelektual kekinian. Di samping itu para sejarawan juga melupakan sebuah kenyataan penting bahwa sejarah sebagai realitas objektif yang terjadi di masa lalu merupakan tindakan apa saja yang bersifat sangat manusiawi, bukan sesuatu yang seharusnya dilakukan manusia secara normatif.

Keberadaan historiografi Indonesia pascakolonial seperti yang telah dijelaskan di atas, tidak terlepas dari pemahaman teoretik tentang apa yang tercakup sebagai fakta sejarah. Seba­gai sebuah peristiwa, sejarah hanya dikaitkan dengan sesuatu yang penting secara sosial. Bagi peristiwa yang dianggap tidak memiliki arti penting secara sosial, yang sebagian besar merupakan sejarah masyarakat kebanyakan, maka seolah-olah tidak ada sejarah di dalamnya. Jika pun ada masa lalu orang kebanyakan menjadi objek kajian, maka hanya masa lalu orang kebanyakan yang berkaitan dengan politik, khususnya ketika mereka rnenjadi pemberontak. Oleh sebab itu, biarpun Sartono telah memulai sebuah tradisi yang mengangkat orang biasa, khususnya para petani sebagai bagian dari proses sejarah Indonesia, dalam perkembangannya historio- grafi Indonesia pascakolonial tetap lebih suka melakukan reinterpretasi atau reaksi terhadap kekuasaan kolonial dari- pada memahami proses dan memaknai dinamika sejarah masyarakat itu sendiri. Pada saat yang sama, sejarah kehi- dupan sehari-hari masyarakat juga tidak mendapat perhatian. Akibatnya berbeda dengan perkembangan historiografi di tempat lain seperti India, kajian sejarah sejenis subaltern atau underside belum mendapat tempat yang memadai dalam sejarah Indonesia yang ditulis oleh sejarawan Indonesia.

Oleh karena itu tidak mengherankan, jika konstruksi dan narasi historis tentang kehidupan sehari-hari dalam sejarah Indonesia tidak datang dari sejarawan Indonesia melainkan sebagian besar ditulis oleh sejarawan asing, seperti yang dila- kukan oleh John Ingleson dan William Frederick terhadap buruh pelabuhan, prostitusi serta kehidupan sehari-hari di kampung pada masa depresi tahun 1930-an, atau Ann Stoler yang menulis tentang para house maids pada masa kolonial. Cara berpikir yang sama pula yang telah membatasi sejarawan Indonesia memahami sejarah tentang pergerakan nasional In- donesia. Nasionalisme Indonesia selalu dipahami sebagai sesuatu yang hanya berdimensi politis, seperti partai politik. Padahal perkembangan nasionalisme Indonesia dapat diperbincangkan dengan realitas-realitas social masyarakat seperti ironi simbolisme yang berkaitan dengan gaya hidup masyarakat bumiputera. Ketika perjuangan pergerakan nasional Indonesia memperjuangkan identitas nasional sebagai lawan dari kolonial dan imperialisme Barat sebagai contoh, pada saat yang sama para elite dan masyarakat mengadopsi berbagai simbol Barat yang diartikan para nasionalis sebagai simbol modernisasi. Padahal dalam kenyataannya, simbol itu identik dengang kolonialisme dan imperialisme Barat. Sementara itu arah biarpun tidak bisa dinafikan bahwa beberapa karya seperti yang ditulis oleh Taufik Abdullah tentang Minangkabau, Kuntowijoyo tentang Madura, Djoko Suryo tentang Semarang, Muhlis PaEni tentang Gayo dan sejarawan lainnya telah memberikan sumbangan yang besar untuk memahami dinamika historis masing-masing masyarakat yang menjadi pokok bahasan. Persoalannya adalah, apa yang telah dilakukan oleh beberapa sejarawan akademis Indonesia itu, seperti juga diakui oleh Kuntowijoyo, tidak menggambarkan benang merah dan sebagian besar karya sejarawan Indonesia yang sampai kepada masyarakat luas dan pemahaman orang Indonesia terhadap historiografi Indonesia. Walaupun di jurusan sejarah di perguruan tinggi selalu diajarkan bahwa sejarah itu unik, dalam kenyataannya historiografi Indonesia yang dihasilkan lebih cenderung melakukan generalisasi daripada menggam­man barkan keunikan itu sendiri. Di samping itu, tradisi historiografi Indonesia juga tidak pernah menyadari bahwa sesuatu yang tidak terjadi dalam suatu kurun waktu tertentu juga adalah bagian dari proses sejarah. Ketidakhadiran sesuatu di dalam teks dokumentasi tidak pernah dipahami sebagai hal yang menyejarah. Tidak terjadinya industrialisasi di Indonesia pada masa kolonial sebagai contoh, tidak pernah dilihat sebagai bagian dari se­buah proses historis dari perkembangan ekonomi. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika tema seperti hilangnya kesem­patan Indonesia melakukan industrialisasi pada abad XIX tidak ditulis oleh sejarawan Indonesia melainkan oleh sejara­wan asing, seperti yang dilakukan oleh Howard Dick. Hal serupa dapat dilihat pada konteks tuyul atau mahkluk-makh­luk gaib lainnya yang secara sosio-kultural menjadi bagian dari masa lalu, dan bahkan terus hidup dalam masyarakat Indonesia. Tetapi karena tuyul dan makhluk-makhluk gaib itu dianggap tidak ada dan dokumen-dokumen juga tidak menyatakan keberadaannya, maka dianggap tidak ada sejarah yang perlu dikaitkan dengan hal itu. Setelah Peter Boomgard menulis hubungan antara perubahan ekonomi dengan tuyul, gundul, atau dan Nyi Blorong pada masa kolonial, barn muncul kesadaran bahwa yang tidak ada dan yang tidak terjadi itu ternyata juga bagian dari sejarah Indonesia.

Biarpun di dalam ilmu sejarah dikenal generalisasi seja­rah, pemahaman terhadap peristiwa sejarah tidak didasarkan dan bertujuan menggeneralisasi seluruh fakta sejarah. Oleh sebab itu, misalnya, perkembangan kolonialisme Belanda di Indonesia tidak dapat hanya dipahami secara umum dalam konteks politik devide et impera atau eksploitasi. Sebagai sebuah proses sejarah, kolonialisme Belanda merupakan produk dari interaksi berbagai faktor internal dan eksternal yang akhimya membentuk sebuah struktur tertentu. Selain itu sebagai sebuah proses sejarah, Islam di Indonesia tidak hanya berkaitan dengan unsur teologis melainkan juga berkaitan dengan unsur sosial, kultural, politik atau ekonomi. Tidak semua hal yang berhubungan dengan Islam di masa lalu dapat dikembalikan pada persoalan teologis. Misalnya, biarpun Islam melarang orang melakukan praktek riba, terdapat banyak bukti sejarah yang menunjukkan bahwa para haji atau komunitas Arab yang selalu dikaitkan dengan Islam ternyata melakukan praktek peminjaman uang dengan bunga yang tinggi, seperti yang banyak terjadi di sepanjang pantai utara Jawa. Sejarah seba- gai peristiwa masa lalu adalah kenyataan dan objektif, tetapi rekonstruksi tentang masa lalu sampai kapanpun tidak akan terbebas dari nilai subjektif, tergantung pada kemampuan mensejarahkan wacana dan pengalaman yang menjadi dasar sebuah naratif.

Berdasarkan pengalaman perkembangan historiografi Indonesia yang telah disampaikan di atas, epistimologi dekonstruksionis, sama seperti tradisi empirik, bukan sesuatu yang perlu ditakutkan. Meminjam istilah Alun Munslow, yang paling penting adalah adanya kesadaran dekonstruktif untuk merekonstruksi masa lalu yang tetap didasarkan pada fakta. Dalam kenyataannya, sejarah sebagai realitas objektif telah berjarak dengan sejarah yang dipahami saat ini, sehingga tidak mungkin dihidupkan kembali seperti apa yang terjadi di masa lalu. Sementara itu, sejarah sebagai naratif juga tidak akan dapat dibangun jika tidak terdapat sejarah sebagai realitas objektif masa lalu. Konstruksi dan pemaknaan dalam konteks sejarah tidak mungkin dilakukan jika sejarah sebagai realitas tidak terjadi. Jika hal itu dilakukan, maka itu bukan konstruksi sejarah dan pemaknaan terhadap masa lalu melainkan imajinasi fiktif dari karya sastra, yang hanya bermanfaat sebagai sumber sejarah untuk mengetahui misalnya mentali­tas yang ada pada periode tertentu, bukan sejarah baik dalam arti peristiwa maupun makna.

Harus disadari bahwa biarpun metode dan metodologi sejarah modern mendapat dasar yang sangat kuat dari Leopold von Ranke, namun tidak semua prinsip dasarnya yang menekankan pada masa lalu berbicara sendiri tentang dirinya dengan mengumpulkan informasi sebanyak mungkin, dalam arti sekedar rekonstruksi faktual, dijalankan selama ini oleh para sejarawan, termasuk mereka yang menentang wacana dekonstruktif. Pengggunaan konsep dan teori-teori ilmu sosial—yang beberapa di antaranya hanya hasil gene­ralisasi dan tidak historis—dalam analisis dan sistesis sejarah, sebenarnya juga merupakan sebuah bentuk dari penisbian terhadap fakta. Banyak eksplanasi yang dilakukan untuk merangkai fakta-fakta masa lalu menjadi sebuah deskripsi his­toris harus diakui hanya merupakan spekulasi konseptual dan teoretik, yang sebagian darinya bahkan tidak memiliki basis sama sekali pada realitas sejarah sebagai peristiwa ob­jektif.

Oleh sebab itu, sudah saatnya para sejarawan Indonesia berpikir secara bersama-sama mencoba merumuskan kembali prinsip-prinsip dasar filosofis dan epistimologis historiografi Indonesiasentris, tanpa perlu takut terhadap perkembangan pemikiran post-modernisme atau post-kolonial, dan menen­tang wacana dekonstruksi secara membabi buta. Para sejara­wan di perguruan tinggi perlu memberi wawasan, substansi, dan pertanyaan-pertanyaan baru melalui pembenahan terhadap kurikulum yang telah digunakan selama in sehingga para sejarawan yang dihasilkannya mampu memahami masa kini dan masa depan masyarakatnya melalui rekonstruksi dan pernaknaan terhadap masa lalu yang mendekati sejarah objektif tanpa hams dibebani oleh hanya satu epistimologi atau metodologi tertentu. Atau dalam bahasa Kuntowijoyo, sejarawan Indonesia perlu menjadikan sejarah sebagai kritik sosial, sehingga sejarah sebagai sebuah rekonstruksi dan sejarawannya tidak hanya sekedar menjadi alat pembenar dan menara gading, atau hanya mampu berdialog dengan dirinya sendiri dan takut pada penindasan serta kezaliman politis. Berdasarkan cara berpikir yang baru itu, sebagai contoh, telah saatnya sejarawan Indonesia dan bukan sejarawan asing yang melakukan penelitian tentang kekerasan fisik dan seksual terhadap perempuan, tanpa perlu membedakan apa suku dan bangsanya pada saat Indonesia sedang mengalami proses transisi dari masyarakat terjajah menjadi masyarakat yang merdeka dan sedang berjuang mempertahankan kemerdekaan yang diproklamasikannya. Periode revolusi bukan lagi sesuatu yang sakral, segala hal yang baik maupun yang buruk bias terjadi waktu itu. Revolusi tidak hanya menghasilkan pahlawan, melainkan juga para pecundang. Desakralisasi terhadap revolusi nasional Indonesia secara historiografis tidak akan mengurangi arti penting periode itu dan perjuangan para pahlawan yang tidak pernah bercita-cita jadi pahlawan itu dalam proses sejarah bangsa mi. Sebaliknya, kebenaran sejarah yang dikemukakan dari periode itu akan menjadi pelajaran yang sangat penting dan bijak bagi generasi berikutnya tentang apa yang perlu atau harus dilakukan dan tidak perlu atau tidak harus dilakukan di masa depan. Melalui proses dekon­struksi itu masyarakat menjadi tahu bahwa pahlawan itu bukan identik dengan tentara atau mereka yang berjuang dengan senjata. Sementara itu tidak semua tentara atau mere­ka yang berjuang dengan senjata layak untuk disebut sebagai pahlawan, karena ternyata ada orang yang menjadi pahlawan hanya karena kebetulan. Sejarah juga membuktikan bahwa ada pejuang yang kemudian disebut pahlawan ternyata sehari­hari juga bekerja sebagai centeng untuk sebuah rumah seorang penadah barang curian, sesuatu yang jauh dari ideal type iden­titas seorang pahlawan yang dibayangkan selama ini. Melalui cara itu masyarakat akan belajar dari sejarah untuk bisa mene­rima kekurangan orang tanpa melupakan kebaikannya. Tidal( ada yang sempurna. Oleh karena itu pepatah setitik nila rusak susu sebelanga tidak selalu tepat untuk diberlakukan dalam konteks revolusi dan kepahlawanan seseorang. Sejarah adalah refleksi kemanusiaan, maka historiografi yang manu­siawi merupakan jawaban untuk melakukan konstruksi dan memaknai masa lalu.

Mengutip Sartono Kartodirdjo, sejarah nasional adalah simbol dari identitas nasional yang secara logis akan sangat mudah terjerumus pada egosentrisme dan kecenderungan yang memihak. Hal itu telah terbukti pada sebagian besar tulisan sejarah yang dilabelkan dengan pendekatan Indone­siasentris selama ini. Namun hal itu bukan berarti bahwa historiografi yang didasarkan pada Indonesiasentris tidak mampu menghasilkan karya sejarah Indonesia yang berkadar subjektivitas rendah. Seperti telah disebutkan di alas, salah satu kata kuncinya, para sejarawan Indonesia harus berani dan mampu mendekonstruksi secara rasional wacana dasar dan historiografi yang ada sekarang. Hal itu merupakan salah satu langkah untuk memperkaya metodologi yang telah ada atau merumuskan sebuah metodologi alternatif, sehingga mampu merekonstruksi masa lalu Indonesia mendekati peristiwa objektif dan memberi kesempatan bukan hanya kepada elite melainkan juga rakyat dan masyarakat secara luas untuk memiliki sejarah. Historiografi tanpa rakyat dan masyarakat dan rakyat tanpa sejarah adalah tulisan sejarah yang meng­ingkari proses menyejarahnya masa lalu itu sendiri. Desakralisasi dan sekaligus dekonstruksi terhadap sejarah nasional adalah kata kunci berikutnya yang perlu dilakukan jika historiografi Indonesia tidak ingin terjebak dalam egosentrisme dan keberpihakan yang membabi buta secara tents menerus. Jika sejarah strukural dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial belum mampu sepenuhnya menghadirkan rakyat dalam sejarah, tidak ada salahnya mencari formula alternatif untuk membangun historiografi Indonesiasentris yang berpihak kepada rakyat tanpa mengingkari kesejarahan orang besar. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk mengatakan epistimologi sejarah dekonstruksionis dan sejarah yang manusiawi sebagai sesuatu yang menjijikkan dan mematikan, melainkan sesuatu yang inspiratif dan berguna karena sejarah pakan kekuatan moral dan aspirasi yang menggerakkan umat manusia untuk mencapai kehidupan yang lebih baik, bahagia, dan teratur secara cerdas.

Agung 2015

Montage dibuat Bloggif

Buton 3

Buton 2

Molukken 2

Molukken

Wael Historian

Perjuangan terbesar bagi sejarahwan adalah membuktikan kebenaran sejarah secara ilmiah. hehe. ...Read More

Buton Island

Istriku



Daftar Blog Saya

Total Tayangan Halaman

Agung

Agung

Pengikut

About Me

Foto Saya
WAEL HISTORIAN
Seorang anak maritim yang dilahirkan di Dusun Terpencil di Pulau Seram Propinsi Maluku.
Lihat profil lengkapku

About


Tab 1.1 Tab 1.2 Tab 1.3
Tab 2.1 Tab 2.2 Tab 2.3
Tab 3.1 Tab 3.2 Tab 3.3

Iklan


Iklan

Iklan

Blogger templates

Diberdayakan oleh Blogger.

Postingan Populer

Entri Populer

Entri Populer